Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Nada Tinggi Menteri Susi

Kompas.com - 08/05/2017, 13:00 WIB
Yoga Sukmana

Penulis

KOMPAS.com - Dua pekan terakhir, telinga Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti panas lagi. Isu soal cantrang yang sempat ramai dua tahun lalu itu tiba-tiba berhembus kencang lagi.

Bahkan kali ini, isu itu sampai ke telinga Presiden Joko Widodo. Akibatnya, Presiden jadi ikut-ikutan panas. Ia sampai memanggil Susi ke Istana terkait isu tersebut pada Rabu (3/5/2017).

(Baca: Menteri Susi: Presiden Sangat Marah...)

Usai pertemuan itu, Presiden memperbolehkan pengunaan cantrang untuk menangkap ikan hingga akhir 2017 mendatang.

Hal itu sekaligus menunda lagi pemberlakukan Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 2 Tahun 2015 tentang larangan pengunaan cantrang yang seharusnya berlaku pada Juni 2017.

Cak Imin

Namun sebelum keputusan Presiden Joko Widodo itu, ada sosok lain yang tiba-tiba muncul bersuara lantang soal cantrang. Ia adalah Ketua Umum Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) Muhaimin Iskandar atau Cak Imin.

Boleh dibilang, Cak Imin lah motor utama isu cantrang kali ini. Saat menghadiri Silaturahmi Nelayan Pantura di Tegal, Jawa tengah, akhir April lalu, ia mengkritik keras kebijakan pelarangan cantrang lantaran dianggap menyengsarakan nelayan Pantura.

Ia juga yang meminta Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 2 Tahun 2015 yang mengatur pelarangan cantrang segara dicabut.

"Saya sendiri yang akan mengawal dan menyampaikan kepada Presiden bahwa Peraturan Menteri buatan Bu Susi itu harus dicabut," ujarnya di Tegal.

Tak cuma itu, Cak Imin menginstruksikan semua menteri asal PKB untuk menyampaikan langsung nasib nelayan Pantura kepada Presiden.

Bahkan Cak Imin juga meminta seluruh Anggota PKB di DPR mengawal keinginan nelayan Pantura. Salah satunya terkait tuntutan mencabut aturan pelarangan penggunaan cantrang.

Aksi Cak Imin itu tentu dianggap harapan baru bagi sebagian nelayan yang terkena dampak pelarangan cantrang.

Buktinya, puluhan nelayan dari berbagai daerah mendatangi kantor DPP Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), Jakarta, Selasa (2/5/2017). Kedatangan mereka untuk mengadukan nasibnya kepada Cak Imin.

Belakangan PKB mengultimatum Menteri Susi untuk berdialog dengan nelayan terkait berbagai persoalan ini. Bila tidak, PKB akan menggalang pembentukkan Pansus yang bisa berujung hak angket di DPR

Nada Tinggi

Manuver Cak Imin ditanggapi dengan "nada tinggi" oleh Menteri Susi. Ia sampai harus membuat konferensi pers hampir satu jam untuk menjelaskan lagi alasan dibalik aturan pelarangan penggunaan cantrang.

Susi tidak habis pikir isu pelarangan penggunaan cantrang kembali kencang dihembuskan. Padahal Susi menilai situasi pasca protes nelayan besar-besaran pada 2015 sudah kondusif.

Terlebih pelarangan penggunaan cantrang baru akan berlaku pada Juni 2017. Adapun pemerintah sedang berupaya membagikan alat tangkap ikan yang lebih ramah lingkungan sebagai pengganti cantrang.

Susi sendiri menilai isu cantrang kali ini kental bermuatan politik dan bisnis. Ia meminta politikus dan pengusaha sadar akan bahaya cantrang bagi keberlanjutan sumberdaya perikanan.

"Kalau tidak suka Menteri Susi, bikin surat aja resmi," ucap ia.

Perempuan berusia 52 tahun itu tidak ingin isu keberlanjutan dijadikan komoditas politik dan kepentingan sesaat.

Baginya, penggunaan cantrang jelas-jelas merusak ekosistem dasar laut. Bila penggunaan cantrang tetap dilanjutkan, maka ketersediaan ikan di laut akan terancam untuk generasi yang akan datang.

Dengan nada tinggi, Susi meminta para politikus dan pengusaha untuk berhenti memainkan isu-isu yang justru merusak masa depan laut Indonesia.

Baginya yang dibutuhkan adalah bekerja mendorong agar nelayan mau beralih mengunakan alat tangkap yang ramah lingkungan.

"Menteri yang bodoh kayak saya saja kerja, (masa) yang pinter malah enggak. Saya yang sekolahnya cuma SMA saja pikir jauh ke depan. Yang pandai dan pintar, yang punya kuasa, yang punya wewenang, kok malah sebaliknya," kata Susi.

Menimbang Cantrang

Cantrang sejatinya bukanlah alat tangkap ikan yang tidak ramah lingkungan. Namun dalam operasionalnya justru banyak disalahgunakan. Misalnya penggunaan pemberat yang berlebih sehingga alat tangkap ikan itu tenggelam hingga ke dasar laut.

Padahal sejatinya pengoperasian cantrang tidak berada di dasar laut, namun tetap mengapung. Penggunaannya pun seharusnya tidak diseret tetapi hanya ditarik dari atas kapal dengan begitu tidak merusak karang.

Parahnya, banyak kapal besar dengan ukuran di atas 30 GT ikut mengunakan alat tangkap itu. Besaran mata jaring pun sengaja diperkecil dari ukuran 4 inci menjadi hanya 1 inci.

Otomatis ikan-ikan kecil ikut terjaring. Atas berbagai fakta itu, pemerintah menilai pengunaan cantrang sudah berevolusi menjadi layaknya alat tangkap trawl.

"Kalau dikatakan tidak merusak itu riil cantrang. Padahal sekarang cantrang sudah dimodifikasi," ucap  Direktur Jenderal Perikanan Tangkap Sjarief Widjaja.

Sementara itu, Dosen Fakultas Ilmu Perikanan dan Kelautan Institut Pertanian Bogor (IPB) Nimmi Zulbainarni menilai, pemerintah tidak perlu melarang penuh pengunaan cantrang, cukup melakukan pembatasan dan pengawasan.

"Kalau pun (cantrang) diperbolehkan, harus ada pengendalian pemanfaatan lewat pembatasan jumlahnya dan wilayahnya di mana," kata Nimmi.

"Untuk kapal ukuran kecil dan besar itu ditentukan wilayah penangkapan ikannya yang tepat sehingga tidak terjadi konflik dan degradasi lingkungan," sambung ia.

Hingga kini, perdebatan soal cantrang masih terjadi. Meski begitu, hal penting yang harus di dorong adalah percepatan pembagian alat tangkap pengganti cantrang.

Sebab menurut Kepala Staf Kepresidenan Teten Masduki pembagian alat tangkap itu masih di bawah 10 persen. Akhirnya Presiden memutuskan untuk memperpanjang waktu transisi pelarangan cantrang hingga Desember 2017.

(Baca: Ini Solusi Susi untuk Para Nelayan Cantrang)

Kompas TV Nelayan Tolak Larangan Penggunaan Jaring Cantrang

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.



Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com