Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Menteri Susi: Mari Bekerja, Jangan Terus Berkutat dengan Isu Tak Berdasar

Kompas.com - 18/06/2017, 21:03 WIB
Muhammad Fajar Marta

Penulis

JAKARTA, KOMPAS.com - Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti menegaskan seluruh pemangku kepentingan lebih baik bekerja dan bersinergi memajukan sektor kelautan dan perikanan ketimbang terus melontarkan pernyataan yang tidak berdasar.

Menteri Susi mencontohkan, sejumlah pihak terus melontarkan isu bahwa tak ada kelanjutan pembangunan perikanan pasca 2,5 tahun pemberantasan penangkapan ikan yang ilegal, tidak diatur, dan tidak dilaporkan (illegal, unreported, unregulated/IUU fishing).

“Negara lain terus bekerja, mereka sudah kemana-mana, sementara kita masih saja terus berdebat yang tidak perlu. Kita jadinya terus ketinggalan,” kata Menteri Susi Minggu (18/6/2017) di Jakarta.

Susi mengatakan, ia dan jajarannya sudah mengkaji secara mendalam dan cukup lama mengenai berbagai langkah dan kebijakan untuk memajukan sektor kelautan dan perikanan. Jadi tahapan-tahapan pengembangan sudah dan akan terus dilakukan. Tidak mandek pada satu kebijakan saja.

“Jadi what’s next dari kebijakan-kebijakan yang kami lakukan terus bergulir dan bahkan sudah kelihatan manfaatnya,” katanya.

Terkait penangkapan ikan, menurut Menteri Susi, pihaknya sudah memberikan izin berupa Surat Izin Penangkapan Ikan (SIPI) sebanyak 3.834 izin dan Surat Izin Kapal Pengangkutan Ikan (SIKPI) sebanyak 257 izin.

Direktur Kapal dan Alat Tangkap KKP Agus Suherman menambahkan, perizinan itu diberikan kepada kapal-kapal ukuran besar di atas 70 GT dan banyak yang berukuran 150 GT.

“Jadi stok ikan lestari (sustainability maximum yield/MSY) yang kini meningkat menjadi 12,54 juta ton pada 2017 secara bertahap terus dimanfaatkan. Tapi kini tidak lagi dikeruk oleh korporasi-korporasi eks asing yang melakukan penangkapan ilegal, tetapi dinikmati oleh perusahaan-perusahaan penangkapan ikan nasional, nelayan-nelayan lokal, dan masyarakat banyak,” kata Menteri Susi.

Selanjutnya, pemanfaatan ikan tersebut berdampak terhadap nilai tukar nelayan yang mencapai 110 dan nilai tukar usaha perikanan (NTUP) nelayan yang mencapai 120 pada tahun 2016. Nilai ekspor meningkat 5,8 persen dari 3,94 juta dollar AS pada tahun 2015 menjadi 4,17 juta dollar AS pada tahun 2016.

Selain itu, terjadi penurunan impor hingga 70 persen sehingga pemerintah bisa menghemat devisa dalam jumlah besar. Pada tahun 2016, kuota impor yang terpakai hanya sebesar 20 persen dari kuota yang telah disediakan.

Peningkatan juga terjadi pada konsumsi ikan masyarakat Indonesia dari 37,2 kg per kapita tahun 2014 menjadi 41,1 kg per kapita pada tahun 2015, dan 43,9 kg per kapita tahun 2016.

Dengan progres tersebut, KKP meningkatkan target konsumsi ikan menjadi 46 kg per kapita tahun 2017 dan 50 kg per kapita tahun 2019 mendatang.

Jadi, kata Susi, pemanfaatan ikan yang kini berlimpah jangan hanya dilihat dari adanya kapal-kapal penangkapan ikan dalam ukuran besar  dan pabrik-pabrik pengolahan yang hanya dikuasai segelintir korporasi.

“Tapi juga harus dilihat dari bergairahnya kembali perusahaan-perusahaan perikanan nasional dan nelayan-nelayan lokal,” katanya.

Susi mengingatkan bahwa kualitas ikan terbaik yang bisa diperdagangkan adalah dalam bentuk segar dan beku. “Sisanya, yang kualitasnya sudah agak menurun, baru dikirim ke pabrik-pabrik pengolahan untuk dijadikan ikan kaleng dan hasil pengolahan lainnya,” katanya.

Susi Heran

Susi juga melontarkan keheranannya atas adanya pernyataan ikan tidak beragama dan tidak punya kebangsaan sehingga seolah-olah jika tidak ditangkap akan lari ke perairan negara-negara tetangga. 

“Benar ikan itu tidak beragama dan tidak punya kebangsaan, tetapi wilayah pengelolaan perikanan sampai batas zona ekonomi ekslusif (ZEE) itu adalah wilayah kedaulatan negara yang diakui oleh dunia Internasional. Jadi pengambilan di dalam wilayah ZEE itu pencurian. Selama ikan masih di wilayah Kedaulatan: milik kita. Apabila ada yang masuk wilayah kedaulatan kita untuk ambil ikan kita, saya tangkap dan tenggelamkan,” kata Susi.

“Benar ikan berenang dan ada jenis ikan migratory yang migrasi seperti tuna. Namun ada juga ikan resident yg menempati zona sama seumur hidupnya. Memangnya semua ikan senang bepergiiannya ke luar negeri?" ujar Susi berkelakar.

“Kalau ikan memiliki kewarganegaraan, ya seharusnya dibikinkan KTP saja, atau kalau perlu e-KTP biar tidak repot,” kata Susi berkelakar.

Menurut Susi, dengan kebijakan pemberantasan IUU fishing yang dilakukan KKP, perairan Indonesia kini menjadi salah satu habitat yang sangat baik bagi ikan untuk beranak-pinak. Sementara, habitat perairan di negara-negara tetangga sudah rusak akibat overfishing.

Kendati demikian, ia mengingatkan pemberantasan illegal fishing belum berjalan secara sempurna. Sebab, hingga kini masih ada peristiwa pencurian ikan dengan modus yang berbeda-beda.

Dia mencontohkan, masih seringnya terjadi modus penggunaan kapal dalam negeri tetapi mempekerjakan nelayan asing yang memiliki Kartu Tanda Penduduk (KTP) Indonesia.

Begitu pula dengan praktik bongkar muat di laut lepas oleh kapal-kapal asing yang terpantau melalui Global Fishing Watch.

.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com