Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Firdaus Putra, HC
Komite Eksekutif ICCI

Ketua Komite Eksekutif Indonesian Consortium for Cooperatives Innovation (ICCI), Sekretaris Umum Asosiasi Neo Koperasi Indonesia (ANKI) dan Pengurus Pusat Keluarga Alumni Universitas Jenderal Soedirman (UNSOED)

Universal Basic Income Ala Koperasi

Kompas.com - 19/03/2019, 07:41 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

Dari PDB sebesar 14 ribu trilyun itu lebih dari separonya disumbang oleh Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM) dengan porsi sampai 60,34 persen. Pelakunya mencapai 99 persen dengan serapan tenaga kerja mencapai 97 juta orang.

Itu menandakan bahwa secara struktural ekonomi Indonesia disangga oleh mereka, yang kecil-kecil itu dibanding yang besar-besar.

Aktivitas mereka ini muncul di keseharian masyarakat dalam wujud Pedagang Kali Lima (PKL), usaha rumahan, pedagang eceran, pengolahan makanan-minuman, berbagai jasa dan lain sebagainya. Mereka adalah wujud nyata ekonomi Indonesia yang dinarasikan sebagai ekonomi rakyat itu. Secara politik biasanya disebut sebagai Ekonomi Kerakyatan.

Sebagian besar, untuk tidak mengatakan seluruhnya, pelaku UMK biasa berwirausaha karena desakan kebutuhan (by necessity). Hal itu berbeda dengan usaha kelas Menengah dan Besar yang berbisnis karena peluang (by opportunity). Masalahnya kompleks, mulai dari mindset dan mental kewirausahaan, akses modal, kapasitas manajerial dan lain sebagainya.

 Alhasil UMKM di Indonesia mengalami apa yang namanya missing middle, di mana yang mikro dan kecil sulit naik kelas menjadi menengah. Sebagai gambaran usaha mikro di Indonesia mencapai 98,7 persen, usaha kecil 1,2 persen, usaha menengah 0,11 persen dan usaha besar hanya 0,01 persen.

Dari data itu itu benar-benar terlihat jomplang, bukan?

Yang menarik adalah aktivitas mereka mewujud pada area lokalnya masing-masing. Riilnya merekalah para pencipta pertumbuhan ekonomi suatu daerah. Sebab aktivitasnya itu, sirkulasi kapital juga tetap berada di daerah.

Menurut saya, dengan pelembagaan tertentu, sektor ini bisa menjadi alternatif bagi pengembangan universal basic income secara bottom up. Bagaimana caranya?

Baca juga: Gaji PNS Naik, Ini Besarannya

Venture Builder Coop

Paradigma ekonomi kolaboratif memberi banyak pilihan model bisnis. Salah satu bentuknya adalah venture builder atau aktivitas pembangunan usaha. Model ini bekerja dengan jalan menghubungkan dan mengorganisasi modalitas para pihak.

Pertama adalah builder, yakni para usahawan yang memiliki pengalaman, kecakapan, dan insight bisnis di bidang tertentu.

Kedua adalah investor, yakni orang-orang yang memiliki modal untuk membiayai suatu usaha.

Dan ketiga adalah worker, yakni pekerja yang memiliki tenaga. Tiga pihak dengan modalitasnya masing-masing itu diorganisasi dalam satu koperasi model baru: sebuah venture builder cooperative.

Venture builder coop ini bertujuan untuk membangun anak-anak usaha dalam berbagai sektor. Mulai dari angkringan, mie ayam, salon, bengkel, kedai kopi, rumah makan dan berbagai usaha rakyat lainnya.

Mulai dari skala mikro, kecil sampai menengah. Dan bahkan secara bertahap bisa masuk ke skala besar dengan capital density tinggi dan kecanggihan tata kelola.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com