JAKARTA, KOMPAS.com - Belum lama ini publik ramai membahas terkait uang digital atau uang elektronik. Bahkan heboh di media sosial dan dunia maya soal hukum keberadaanya, apakah haram, halal, riba, atau lainnya.
Lalu, seperti apa sebenarnya?
Pengamat Ekonomi Syariah dari United Nations Development Programme (UNDP), Greget Kalla Buana, mengatakan, sejatinya uang elektronik sudah berlaku di Indonesia sejak beberapa waktu lalu. Kehadirannya tentu sudah melalui mekanisme yang sesuai dan diatur oleh institusi terkait di Indonesia.
"Ketika kita berbicara tentang uang elektronik, selama itu sudah berlaku di Indonesia dan sudah dipergunakan secara luas, artinya sudah pasti memenuhi peraturan dari institusi terkait. DSN MUI (Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia) juga telah mengeluarkan fatwa tentang uang elektronik syariah," kata Greget dihubungi Kompas.com, Jumat (22/3/2019).
Greget mengatakan, selain dari DSN MUI, aturan tentang uang elektronik itu sudah mengikuti aturan Bank Indonesia.
Terkait apakah ada unsur riba di dalamnya, sebenarnya sudah disiasati dengan baik oleh setiap penyedia layanan.
"Kalau dibilang riba, sebenarnya sudah disiasati dengan penggunaannya. Misalnya saya beli Rp 30.000, yang masuk ke dompet digital juga Rp 30.000. Enggak ada penambahan atau pengurangan," jelasnya.
"Jadi itu enggak ada riba di situ. Karena apa yang kita bayarkan, itu yang kita terima," lanjutnya.
Dia menilai, sejauh ini dari sisi praktinya keberadaan UE sudah sebagaimana mestinya atau sudah halal dipergunakan. Namun, yang patut dan mungkin jadi kekhawatiran publik ialah terkait kontraknya. Sehingga, belakangan ini ada isu uang digital itu riba, dan lainnya.
"Katakanlah 10.000 orang menggunakan uang elektronik. Uang mereka yang dijadikan deposit di dalam uang elektonik itu tersimpan dalam rekening. Pertanyaannya, rekening apa (syariah atau konvensional)? Itu diputar oleh providernya melalui sebuah kontrak atau akad. Pertanyaan berikutnya, seperti apa kontrak atau akad tersebut? Barangkali orang-orang menganggap uang elektronik riba karena akadnya tidak berdasarkan syariah, sehingga dalam proses perputaran uangnya nanti menghasilkan riba," jelasnya.
Tulis komentarmu dengan tagar #JernihBerkomentar dan menangkan e-voucher untuk 90 pemenang!
Syarat & KetentuanSegera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.