Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Saat Usul Kenaikan Iuran BPJS Dibenturkan dengan Pemindahan Ibu Kota

Kompas.com - 02/09/2019, 18:25 WIB
Yoga Sukmana,
Sakina Rakhma Diah Setiawan

Tim Redaksi

JAKARTA, KOMPAS.com - Susana di balkon ruang rapat Komisi XI DPR mulai hening saat suara Ahmad Hatari, pria berusia 64 tahun meninggi, Senin (2/9/2019).

Ia bercerita tentang mirisnya kehidupan masyarakat menjangkau akses kesehatan di wilayah tertinggal, terdepan dan terluar (3T) di Indonesia.

Hatari adalah anggota Komisi XI DPR dari daerah pemilihan Maluku Utara.

Kisah miris masyarakat 3T pun ia tumpahkan di hadapan Menteri Kesehatan Nila Moeloek, Wakil Menteri Keuangan Mardiasmo, hingga Direktur Utama BPJS Kesehatan Fachmi Idris saat rapat bersama Komisi XI dan IX DPR.

"Mereka tidak pernah menikmati yang namanya BPJS Kesehatan. Ada keluarga tabrakan di Halmahera, disodorkan BPJS Kesehatan, dokter tidak terima. Harus bayar tunai untuk operasi. Kasihan mereka," ujarnya, yang membuat Menkes hingga Dirut BPJS memandang tajam Hatari.

"Di Jawa tidak ada 3T. BPJS Kesehatan mereka enggak tahu. Ada ibu yang melahirkan sampai bayinya meninggal, terlantar, tidak ada dokter," dengan nada yang makin meninggi.

Baca juga: Hujan Kritik Sambut Usulan Kenaikan Iuran BPJS Kesehatan

Hujan kritik

Rapat di ruang Komisi XI DPR hari ini memang secara khusus membahas defisit BPJS Kesehatan termasuk usulan pemerintah untuk menaikkan iuran peserta program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN).

Sepekan lalu, Menteri Keuangan Sri Mulyani telah mengusulkan kenaikan iuran sebesar dua kali lipat.

Artinya, peserta JKN kelas I yang tadinya hanya membayar Rp 80.000 per bulan harus membayar sebesar Rp 160.000.

Kemudian, untuk peserta JKN kelas II harus membayar Rp 110.000 dari yang sebelumnya Rp 51.000.

Sementara untuk peserta JKN mandiri kelas III yang tadinya hanya membayar iuran sebesar Rp 25.500 harus menaikkan iuran bulanannya menjadi Rp 42.000 per bulan.

Dirut BPJS Kesehatan Fachmi Idris menyebut, bila iuran tidak dinaikkan, maka defisit BPJS Kesehatan akan tembus Rp 77,8 triliun pada 2024.

Baca juga: Jika Iuran Tak Naik, Defisit BPJS Kesehatan Bisa Capai Rp 77,9 Triliun

Namun, usulan ini disambut hujan kritik. Anggota DPR menilai kenaikan iuran JKN sama saja melempar beban ke masyarakat.

Padahal, persoalan defisit BPJS Kesehatan disebabkan banyaknya masalah pada sistem JKN. Misalnya saja data peserta yang ganda, tidak sesuai NIK hingga data peserta yang sudah meninggal dunia.

"Saya enggak setuju kalau iuran masyarakat dinaikan, enggak setuju. Kecuali iuran dari pemerintah dari APBN yang dinaikkan," ujar anggota Komisi XI Refrizal.

Dibenturkan dengan pemindahan ibu kota

Entah bagaimana pikirnya, sejumlah anggota DPR mengaitkan rencana kenaikan iuran BPJS Kesehatan dengan keputusan pemerintah memindahkan Ibu Kota ke Kalimatan.

"Rakyat lagi sulit terus pemerintah dengan bangganya memindahkan Ibu Kota, Presiden sudah umumkan, di Penajam dan Kutai Kartanegara. Rakyat lagi prihatin, kerusuhan di Papua, itu pemerintah mau naikin lagi iuran BPJS Kesehatan," kata Refrizal.

Usulan kenaikan iuran BPJS Kesehatan dinilai sangat kontras dengan semangat pemerintah memindahkan ibu kota dengan anggaran yang mencapai Rp 400 triliun lebih.

Padahal, defisit BPJS Kesehatan diproyeksikan sebesar Rp 32,9 triliun pada 2019.

Inginnya politikus PKS itu, pemerintah menambal defisit itu dan tidak menaikkan iuran yang justru menambah beban rakyat.

Baca juga: DPR Tolak Rencana Kenaikan Iuran BPJS Kesehatan Kelas III

Anggota Komisi XI dari Fraksi PPP Elviana juga menolak usulan kenaikan iuran BPJS Kesehatan dari pemerintah. Ia heran mengapa pemerintah justru mengejar rakyat atas masalah defisit BPJS Kesehatan.

Rakyat, kata dia, sudah terbebani berbagai harga kebutuhan sehari-hari mulai dari listrik hingga BBM.

Menurutnya, pemerintah harusnya malu mengajukan skema usulan kenaikan iuran BPJS Kesehatan .

"Atas nama fraksi tolong sampaikan ke Menteri Keuangan, malu ini skemanya ibu Menteri Keuangan ini. Enak saja nulis rakyat yang dulu iuran Rp 23.000 naik Rp 42.000," kata dia.

"Mau ditombok dengan apa ya enggak mungkin Pak Jokowi enggak bisa karena hanya segitu (Rp 32,8 triliun). Untuk mindahkan ibu kota saja mampu kok, yang enggak penting-penting amat menurut saya," sambungnya.

Baca juga: Pemerintah Tidak Anggarkan Perpindahan Ibu Kota dalam APBN 2020

Presiden Joko Widodo sudah menjelaskan perihal sumber pendanaan pembangunan ibu kota baru Indonesia di Provinsi Kalimantan Timur.

Jokowi mengatakan, total kebutuhan untuk ibu kota baru kurang lebih Rp 466 triliun. Namun, nantinya hanya 19 persen dari kebutuhan pendanaan itu akan berasal dari APBN.

APBN yang dimaksud bukan hanya yang bersumber dari anggaran yang dialokasikan khusus bagi pembangunan ibu kota negara.

Namun, berasal dari skema kerja sama pengelolaan aset yang ada di Jakarta. Sementara sisanya berasal dari Kerja Sama Pemerintah dengan Badan Usaha atau KPBU dan investasi langsung swasta dan BUMN.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com