Beberapa tahun lalu, istilah ‘kreator konten’ mulai dipopulerisasi oleh generasi yang dalam buku saya Broken, saya sebut generasi challenger. Generasi yang ada bukan untuk mengikuti dan membangun, tapi mengubah dan menggoyang dunia dan sistem lama.
Sebelumnya, semua orang ini berdiri dan hadir terpisah- pisah, dan dalam kubu yang berbeda- beda. Ada YouTuber, ada blogger, vlogger, podcaster, komikus sosial media, influencer, komika sosial media, dan pengamen yang pengen banget bikin album di spotify.
Namun belakangan, seperti kucing dalam video viral yang mendadak sadar kalau dia punya kuping saat melihat cermin (kalau Anda enggak tahu, google aja), mereka menyadari satu hal krusial.
“Kenapa kita terlalu misah- misahin diri?” “Kenapa nggak barengan aja?”
Toh setiap kreator konten biasanya membuat lebih dari satu jenis konten anyway.
Saya sendiri misalnya, selain sebagai penulis buku, saya juga menulis blog, artikel untuk media massa, adalah seorang YouTuber, dan sekarang saya juga punya podcast yang ngebahas tentang hobi saya, film.
Baca juga: Tembus 40 Miliar Dollar AS, Ekonomi Digital RI Terbesar di ASEAN
Maka saat ini, istilah kreator konten adalah yang paling sering digunakan, untuk menggambarkan semua profesi dan aktivitas ini.
Setelah semua pelaku ini jadi keator konten, muncul pertanyaan kedua.
“Kenapa kok pelaku kreator konten dan penikmat konten itu harus dipisah- pisahin? Kenapa enggak barengan aja?”
Dan di sinilah esensi kerennya.
Tulis komentarmu dengan tagar #JernihBerkomentar dan menangkan e-voucher untuk 90 pemenang!
Syarat & KetentuanSegera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.