Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Tuna dan Sidat Indonesia Berpotensi Diekspor ke Jepang, tetapi....

Kompas.com - 19/05/2020, 16:44 WIB
Yohana Artha Uly,
Sakina Rakhma Diah Setiawan

Tim Redaksi

JAKARTA, KOMPAS.com - Indonesia memiliki potensi untuk meningkatkan pasar produk perikanannya di Jepang.

Namun, hal ini perlu didukung oleh pengembangan teknologi dan finansial yang memadai untuk peningkatan kualitas produk perikanan.

Jepang merupakan salah satu negara pengimpor bahan makanan terbesar di dunia. Lebih dari 11 persen dari total impor merupakan bahan makanan.

Baca juga: Ekspor Produk Perikanan Jadi Peluang Bisnis di Tengah Pandemi Covid-19

Sebagian besar produknya berasal dari Amerika Serikat, China, dan Kanada.

Namun wabah Covid-19 yang terjadi di China membuat impor bahan makanan dari negara tersebut turun drastis. Pada Februari 2020 impor dari China turun 33 persen.

Kini Jepang sedang mencari subtitusi makanan impor dari China, dan ini bisa jadi kesempatan Indonesia khususnya dalam produk perikanan. China memang telah menjadi salah satu pemasok kebutuhan ikan di Jepang.

Ketua Umum Indonesia-Japan Business Network (IJB-Net) Dr Suyoto Rais menyatakan, masyarakat Jepang memiliki tingkat konsumsi ikan yang tertinggi di dunia, setidaknya 8,86 juta ton ikan diperlukan setiap tahunnya.

Baca juga: Mitos atau Fakta: Ikan Gabus Memperlambat Penyembuhan Setelah Operasi Caesar

Menurutnya, tuna dan sidat merupakan produk perikanan Indonesia yang potensial untuk pasarnya meningkat di Jepang.

Di Negeri Sakura itu, tuna menjadi urutan pertama dan sidat urutan keenam sebagai produk ikan yang paling banyak di konsumsi.

"Kebanyakan yang mereka (penduduk Jepang) makan itu ada di Indonesia, bahkan sebagian produsen utamanya itu di Indonesia," ujarnya dalam webinar Teknologi dan Inovasi Indonesia Hadapi Covid-19, Selasa (19/5/2020).

Jepang membutuhkan sekitar 400.000 ton tuna tiap tahunnya, dengan 200.000 ton dipasok dari luar negeri.

Namun pasar Indonesia di Jepang hanya sebesar 6.000 ton per tahun, hanya 3,5 persen dari total impor tuna Jepang.

 

Padahal Organisasi Pangan dan Pertanian (FAO) mencatat  Indonesia yang merupakan negara penghasil tuna terbesar di dunia, yakni sekitar 375.000 ton tiap tahunnya.

Pasokan tuna di Jepang paling besar berasal dari Taiwan sebesar 68.000 ton, China 33.000 ton, dan Korea Selatan 19.000 ton.

Baca juga: Bank Ikan Jaga Laut Wakatobi hingga Dapat Penghargaan dari New York

Menurut Suyoto, ketiga negara tersebut memiliki penanganan pasca tangkap yang baik, sehingga produknya sesuai standar Jepang. Di mana usai ditangkap, ikan-ikan tersebut segera di bersihkan tanpa perlu tunggu mendarat ke tepi.

Berbeda dengan Indonesia yang memang perlu perbaikan pasca tangkap, di mana umumnya ikan hasil tangkapan dikirim dalam keadaan beku utuh.

"Mereka (nelayan Indonesia) biasanya baru memproses ikan setelah mendarat. Padahal mendarat itu kadang-kadang bisa seminggu bahkan dua minggu. Itu membuat Jepang enggak mau terima, karena Indonesia biasanya ekpsor dalam bentuk beku utuh," jelasnya.

Terkait sidat, pasar Jepang kekurangan lebih dari 100.000 ton per tahun.

Baca juga: Ikan Tuna Berhasil Dilelang di Harga Rp 24 Miliar

Lantaran, jenis-jenis sidat yang banyak dikonsumsi Jepang selama ini sudah mulai berkurang dan ada yang sudah hampir punah, seperti Japonica.

Untuk menggantikan itu, sidat Bicolor menjadi salah satu alternatif karena memiliki rasa dan kelenturan daging yang mirip sidat Jepang. Jenis sidat ini terbanyak ada di perairan Indonesia, utamanya di pesisir pulau Jawa bagian selatan, Sumatera bagian barat.

"Sayangnya Indonesia belum punya teknologi atau budidaya (sidat) yang bisa diterima di jepang, begitu juga soal pengolahannya," kata Suyoto.

Baca juga: Jepang Pernah Penuh Sampah, Kok Bisa Berubah Jadi Bersih?

Permasalahan dalam hal budidaya, sidat Indonesia memiliki tingkat kelangsungan hidup (SR) rendah dan belum disukai pasar Jepang, terutama terkait bau, kelenturan daging, dan kulit tebal.

Dalam hal pengolahan, sidat asal Indonesia yang di masak harganya lebih murah dan kurang laku di pasar Jepang. Jika ada produk pilihan sidat asal China dan Taiwan, konsumen Jepang akan lebih memilihnya meskipun harga lebih mahal.

"Jadi Jepang itu menerima sidat hidup tapi bukan dari Indonesia, yang mereka bisa terima dari China dan Taiwan," katanya.

 

Oleh sebab itu, Suyoto bilang, perlu dilakukan peningkatan mutu sidat di Indonesia. Hal ini dilakukan pihaknya dengan melakukan investigasi selama lebih dari 1,5 tahun dan mengadakan pertemuan antar pemangku kepentingan Indonesia dan Jepang.

"Dari sini dihasilkan sidat olahan yang bisa diterima di pasar Jepang. Kami juga sudah siap melakukan budidaya mulai dari glass eel sampai sidat dewasa apabila ada investornya," kata dia.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com