Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Joseph Osdar
Kolumnis

Mantan wartawan harian Kompas. Kolumnis 

Kereta Api Cepat...

Kompas.com - 27/08/2020, 07:07 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

Di halaman 47, sepanjang setengah halaman, Cak Kardi mendongeng perjalanan kunjungan kerja pertama presiden ke Lampung. Waktu itu presiden ingin melihat lokasi pembangunan tol Lampung - Palembang.

Ketika Presiden turun dari mobil, kata Cak Kardi, banyak orang menyambut dan mengerumuni. Agak keluar dari kerumunan Cak Kardi melihat seorang laki-laki usia sekiar 50-an, berkaos cokelat. Orang itu berkomentar, "Ahh ....paling cuma begitu saja.Dari dulu cuma groundbreaking-groundbreaking."

Ketika ikut kunjungan meninjau kemajuan pembangunan jalan tol itu, 6 November 2015, Cak Kardi mencari-cari laki-laki berkaos cokelat itu, tapi tidak ketemu. Cak Kardi ingin menunjukan jalan tol Lampung - Palembang sudah mencapai dua kilometer. “Saya ingin tahu apa komentar bapak itu sekarang,” ujar Cak Kardi.

Di satu lembar halaman 52, Cak Kardi menunjukan judul “Kereta Api Berru - Pare-Pare”. Di halam 53, Cak Kardi bercerita kunjungan kerja peletakan batu pertama (groundbreaking) pembangunan rel kereta api dari Berru ke Parepare, Sulawesi Selatan, 25 November 2015.

Saat itu telah terpasang rel kereta api 200 meter. Ketika Jokowi berjalan di rel kereta api itu, banyak orang mengerumuni. Di luar kerumunan ada anak asyik sendiri membawa bendera Merah Putih dari plastik sambil bernyanyi. “Naik kereta api, tut, tut, tut. Siapa hendak turut ke Berru Pare-Pare.”

”Saya yakin mimpi anak itu segera terwujud,” komentar Cak Kardi.

Sebelum masuk Purwakarta, AAGN Ari Dwipayana yang sering saya panggil Bli Arie bicara tentang pemerintahan Presiden Joko Widodo sampai November 2018 itu. Saya lupa apa yang diucapkan.

Yang muncul di benak saya ketika Bli Ari Dwipayana bicara saat itu adalah tulisan Bli Ari dalam buku berjudul “Yth. Bapak Presiden - Pesan untuk Indonesia Sejahtera dan Berkeadilan” yang dicetak pertama kali Juni 2014 oleh KPG (Kepustakaan Populer Gramedia) bekerja sama dengan Rumah Kebangsaan (lembaga swadaya masyarakat yang antara lain dimotori oleh Teten Masduki (pelaksana harian Rumah Kebangsaan).

Dalam buku itu, Ari Dwipayana menuliskan artikel berjudul “Dilema Pembangunan Politik” (halaman 67). Di akhir artikelnya, ia mengatakan, ...untuk keluar dari dilema pembangunan politik, Presiden mendatang harus memikirkan kembali esensi demokrasi sebagai kontrol masyarakat dan kesetaraan politik.

“Demokrasi bukan semata-mata merayakan kebebasan dalam keberagaman, melainkan juga membuka ruang sekaligus melembagakan prinsip-prinsip kesetaraan politis, terutama bagi warga atau kelompok warga yang “tidak bersuara”. Hanya dengan cara itu, legitimasi dan stabilitas demokrasi bisa diwujudkan,” kata AAGN Ari Dwipayana saat itu.

Untuk menuliskan tentang dongengan dan beberapa catatan buku “Sudut Istana” saya mengadakan kontak beeberapa pengamat transportasi publik di Indonesia, antara lain Agus Pambagio dan Djoko Setiawarno.

Banyak kritik terhadap proyek ini sejak awal. Apakah bisa mangkrak? Itu tanya saya spontan kepada Djoko Setiawarno. “Bukan mangkrak, tapi banyak yang dilanggar. Kajian amdalnya (analisis mengenai dampak lingkungan) dibikin cuma satu bulan selesai,” jawab Djoko lewat pesan WhatsApp (WA) dalam perjalanan dengan mobil dari Surabaya - Semarang , tanggal 12 Agustus 2020 lalu.

Menurut Djoko, proyek sebesar itu amdalnya seharusnya paling tidak satu tahun baru selesai. Satu tahun itu pun, katanya, sudah super cepat. “Saya tidak heran jika sebelum ini muncul beberapa masalah banjir di Bekasi dan beberapa tempat lainnya. Saya duga saat itu (ketika diputuskan) Pak Jokowi tidak begitu paham, karena baru enam bulan jadi Presiden,” ujar Djoko.

Agus Pambagio, selain mengkritik berbagai hal soal proyek ini, termasuk soal amdalnya, mengatakan, “Zaman Jokowi (proyek ini) harus selesai karena itu ide dia”.

Kini megaproyek sepanjang sekitar 150 kilometer itu sudah menyelesaikan lebih dari 50 persen di tengah musim virus corona ini. Rencana awal, selesai tahun 2020 (empat tahun sejak groundbreaking tahun 2016).

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com