Berjualan secara online pun juga tidak gampang, kata dia. Apalagi karena ia tinggal di daerah lereng gunung membuat dia kesulitan untuk mendistribusikan barangnya ke pelanggannya.
Belum lagi masalah sulitnya mengakses internet lantaran di kampungnya berada di lereng Gunung dan belum memiliki fasilitas yang mumpuni.
Tak jarang Manis harus berjalan berkilo-kilo meter agar bisa bertemu dengan kurir dan mengirimkan produknya ke para pelanggannya.
Baca juga: Dari Usaha Beresin Kamar Kos, 2 Alumni UGM Ini Raup Omzet Rp 24 Juta
Ketika hujan turun, Manis harus lebih ekstra berhati-hati, sebab jalan yang ia tempuh pun cukup terjal.
"Jadi aku harus jalan kaki berkilo-kilometer biar bisa ketemu sama kurir. Pernah suatu kali saya bawa 10 kilogram paket karena enggak ada motor dan ini paket pesanan dari Tokopedia dikirim ke Cirebon," katanya.
Karena di daerah tempat ia tinggal sulit mendapatkan sinyal, sementara ia harus berjualan online, membuat dia jarang sekali berada di rumah. Dia pun sering tidur di gardu, di tempat yang ada sinyal agar bisa memantau bisnis onlinenya.
"Kadang sampai tidur di gardu atau kalau enggak di hammock. Kayak orang camping lah, harus bawa kompor portabel dan mi instan," ungkapnya.
Perjuangannya pun perlahan berbuah manis. Kini produk kopi yang dipasarkan oleh Manis bisa dinikmati oleh masyarakat luas bahkan hingga ke Kalimantan. Memang untuk omzetnya sendiri, Manis mengaku masih tergolong kecil untuk dia kelola dan walau begitu Manis tetap optimistis untuk mengembangkan usaha kopinya .
"Masih kecil sih, sebulan itu masih sekitar Rp 1.500.000-an. Saya jalani dulu saja, sambil inovasi dan tingkatkan kualitas, siapa tahu ke depannya bisa lebih baik," harapnya.
Untuk harga kopinya, Manis membanderol dengan harga yang berbeda-beda setiap jenisnya. Misalnya saja untuk produk Green Bean Arabika Natural dibanderol dengan harga Rp 90.000 per kilogram, Arabika Full Wash dibanderol dengan harga Rp 80.000 per kilogram, Arabika Wine dibanderol dengan harga Rp 145.000 per kilogram dan masih banyak lainnya.
Tak jarang juga dia mendapatkan banyak cibiran dari tetangganya karena berjualan online yang terlihat seperti pengangguran.
"Walaupun banyak yang mencibir karena berjualan online terlihat seperti pengangguran (hanya mengoperasikan gawai). Saya akan terus melakukan sosialisasi pemanfaatan platform digital seperti Tokopedia dalam berbisnis demi kemajuan desa," pungkasnya.
Baca juga: Cerita Perajin Tas Kulit, Omzet Anjlok 50 Persen akibat Virus Corona
Tulis komentar dengan menyertakan tagar #JernihBerkomentar dan #MelihatHarapan di kolom komentar artikel Kompas.com. Menangkan E-Voucher senilai Jutaan Rupiah dan 1 unit Smartphone.
Syarat & Ketentuan