Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Chandra Budi

Bekerja di Ditjen Pajak, Alumnus Pascasarjana IPB

Kemudahan Perpajakan yang Ada dalam UU Cipta

Kompas.com - 09/11/2020, 09:30 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

Perubahan yang kiranya berdampak besar di aturan formil adalah pengaturan ulang besaran sanksi administrasi perpajakan.

Selama ini, sanksi administrasi perpajakan berbentuk bunga dengan besaran dua persen setiap bulannya, paling lama 24 bulan. Dengan demikian sanksi administrasi dapat dikenakan maksimal 48 persen dari pajak yang kurang bayar atau pokoknya.

Melalui UU Cipta Kerja ini, sanksi administratif termasuk juga sanksi pidana mengalami relaksasi. Dengan tetap mempertimbangan rasa keadilan, maka besarnya sanksi administratif dibagi dua yaitu sanksi yang dikenakan pada saat pembetulan Surat Pemberitahuan (SPT) dan sanksi yang dikenakan sebagai dampak dari kegiatan pemeriksaan pajak.

Seperti diketahui, pemeriksaan pajak merupakan ultimum remidium dari serangkaian kegiatan pengawasan kepatuhan Wajib Pajak. Maka, apabila Wajib Pajak diperiksa, sebenarnya sudah melalui serangkaian kegiatan pendahuluan yang lebih persuasif.

Wajar, sekali lagi untuk keadilan, Wajib Pajak yang membetulkan SPT sebelum ditetapkan melalui pemeriksaan akan dikenakan sanksi lebih kecil. Dalam UU ini, sanksi adminsitarif berupa bunga setiap bulannya di hitung dengan formula suku bunga acuan ditambah lima persen dibagi 12.

Hasil simulasi menunjukan hasilnya kurang satu persen perbulan atau 50 persen lebih rendah dari besaran sanksi saat ini. Tetapi, pada tahapan pemeriksaan pajak, formulanya akan berbeda menjadi hanya sekitar 20 persen lebih rendah dari kondisi sebelum UU Cipta Kerja lahir.

Melalui UU Cipta Kerja ini juga, pemerintah ingin memberikan kepastian hukum kepada Wajib Pajak sekaligus peningkatan investasi. Hal ini tergambar dalam ketentuan baru mengenai pajak batu bara, konsinyasi dan tindak lanjut pidana pajak yang inkracht.

Dalam beleid ini, penyerahan batu bara termasuk penyerahan Barang Kena Pajak (BKP). Ini berarti, baru bara akan dikenakan PPN dan konsekuensinya pengusaha baru bara berhak mengajukan restitusi, apabila masukan pajaknya lebih besar dari pajak keluarannya.

Baca juga: Sri Mulyani: Cipta Kerja Tegaskan Batu Bara Sebagai Barang Kena Pajak

 

Seperti diketahui, polemik mengenai restitusi PPN batu bara sempat hangat sekitar Tahun 2000 lalu.

Kala itu, para kontraktor Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batu Bara (PKP2B) mengajukan uji materi atas Peraturan Pemerintah (PP) yang menyebutkan batu bara bukanlah BKP. Padahal, dalam UU PPN Nomor 18 Tahun 2000, tidak disebutkan secara ekplisit batu bara masuk dalam kategori tidak dikenakan PPN.

Baru pada amandemen UU PPN selanjutnya, batu bara secara ekplisit dinyatakan bukanlah BKP. Implikasi dari aturan ini adalah para kontraktor tidak dapat mengkreditkan dan mengajukan restitusi atas PPN mereka.

Ini memberikan tekanan finansial kepada para kontraktor karena bisnis batu bara memerlukan biaya modal cukup besar di tahap eksplorasinya.

Ketentuan tindaklanjut atas putusan pengadilan pidana perpajakan juga disempurnakan. Selama ini, Direktorat Jenderal Pajak tetap menerbitkan surat ketetapan pajak untuk menagih pajak terutang dan sanksinya, pun setelah putusan pidana di pengadilan.

Filosofinya, sanksi dalam putusan pengadilan bukanlah denda pajak namun denda pidana. Walaupun, berapa kasus yang naik ke pengadilan pajak memenangkan pihak pemohon – Wajib Pajak.

Pemerintah responsif memberikan kepastian hukum kepada Wajib Pajak dengan menyatakan bahwa pidana pajak yang telah diputus pengadilan tidak lagi diterbitkan ketetapan pajak. Dengan demikian, prinsip rumah tumbuh untuk aturan perpajakan terakomodir dalam UU Cipta Kerja ini.

Aturan perpajakan makin disempurnakan lagi untuk mendorong kebijakan sektor keuangan yang pro rakyat.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com