Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Cadangan Timah Indonesia Habis dalam 25 Tahun, ESDM Akan Perketat Syarat Ekspor

Kompas.com - 15/12/2021, 18:08 WIB
Yohana Artha Uly,
Aprillia Ika

Tim Redaksi

PANGKALPINANG, KOMPAS.com - Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) mencatat, usia cadangan timah Indonesia diperkirakan hanya mencapai 2046 atau 25 tahun saja. Oleh sebab itu, industri pertambangan timah sedang menjadi perhatian serius pemerintah.

Direktur Jenderal Mineral dan Batu Bara Kementerian ESDM Ridwan Djamaludin mengatakan, pihaknya sedang memperbaiki tata kelola industri pertambangan timah dari hulu ke hilir.

Baca juga: Asia dan Eropa Dominasi Tujuan Ekspor Timah

Menurutnya, penataan industri pertimahan akan dilakukan dari beberapa aspek seperti, peningkatan nilai tambah dan hilirisasi, kepastian berusaha, dan aspek perlindungan lingkungan. Hal ini guna menjaga keberlanjutan penambangan timah di Indonesia.

“Keberlanjutan merupakan program penting pemerintah, kita tidak ingin buru-buru menghabiskan sumber daya alam yang ada, namun juga memanfaatkan momentum dengan baik,” ujarnya dalam Seminar Nasional Sustainabilitas Timah Nasional, dikutip dalam keterangan tertulis, Rabu (15/12/2021).

Baca juga: Tambang Timah Inkonvensional Beroperasi Dekat Kantor Gubernur Babel Dibongkar Paksa, Petugas Cekcok dengan Okum Aparat Pembeking

Terapkan ekspor timah harus mengacu RKAB

Ia menjelaskan, Kementerian ESDM bahkan bakal menerapkan untuk ekspor timah akan mengacu pada Rencana Kerja Anggaran Belanja (RKAB). Hal itu untuk memastikan kejelasan asal usul bijih timah yang diekspor memang didapatkan dari proses penambangan yang clean dan clear.

“Beberapa waktu belakangan ini beredar informasi bahwa ekspor tidak harus mengacu kepada RKAB, ini sudah kami sudah kami koordinasikan dengan Kementerian Perdagangan agar ditinjau ulang, jangan sampai orang menambang 1.000 (ton) mengekspor 1.500 (ton), itu dari mana sisanya?” papar dia.

Baca juga: Jelang Tutup Tahun, ICDX Catat Rekor Transaksi Timah Lebih dari Rp 13 Triliun

Meski ke depannya ekspor timah harus mengacu pada RKAB, namun Ridwan mengatakan, pihaknya tetap flesksibel menghadapi dinamika yang berkembang cukup cepat.

Ia bilang, RKAB yang dibuat untuk jangka waktu satu tahun, dibuka kesempatan untuk revisi, misalnya ketika harga sedang berubah, kondisi perusahaan tidak memungkinkan.

"Pemerintah tetap fleksibel tapi tetap dalam koridor. RKAB tetap menjadi acuan, tapi acuan ini bisa disesuaikan jika itu membawa manfaat,” katanya.

Baca juga: Capai 37.760 Dollar AS per Metrik Ton, Harga Timah Sentuh Rekor Tertinggi

 

Tinjau ulang IUP yang tidak menambang tapi bisa produksi

Sementara itu, Koordinator Pengawasan Usaha Eksplorasi Mineral Direktorat Jenderal Mineral dan Batu Bara Andri B Firmanto mengatakan, bijih timah yang diproduksi harus berasal dari sumber yang jelas sehingga dapat dipertanggungjawabkan secara regulasi dan lingkungan.

“Ada perusahaan yang punya IUP tapi enggak pernah ditambang tapi bisa produksi, ada juga punya sumber daya cadangan tapi tidak menghasilkan. Banyak sekali kaidah yang tidak pas, ini yang nantinya akan kami tinjau kembali,” ungkap dia.

Oleh sebab itu, pihaknya meminta perusahaan untuk melaksanakan eksplorasi lanjutan, sehingga RKAB yang diusulkan disesuaikan dengan sumber daya dan cadangan yang dimiliki dari hasil eksplorasi.

“Jika eskplorasi tidak dilakukan, maka RKAB tidak akan diterbitkan,” katanya.

80 persen IUP dapat timah dari penambang rakyat

Direktur Babel Resources Institute (BRINIST) sekaligus Pengamat Pertambangan Teddy Marbinanda menambahkan, fenomena yang terjadi saat ini banyak perusahaan pertambangan timah, khususnya di Bangka Belitung, yang mengabaikan eksplorasi.

Menurutnya, implementasi praktek good mining practices eksplorasi harus dilakukan terlepas dari memiliki risiko yang tinggi atau mengeluarkan biaya yang tinggi.

Ia menilai, banyak perusahaan yang tidak melakukan eksplorasi, karena tidak sepenuhnya murni perusahaan pertambangan, melainkan hanya trading untuk sebagai sumber bahan baku. Padahal eksplorasi menjadi salah satu indikator untuk menyusun RKAB perusahaan.

"Mereka menunggu di hilir sudah sesuai izin IUP pengolahan dan pemurnian, mereka punya IUP hanya sebagai syarat, tapi bahan baku produk usaha murni masih didapat dari trading penambang rakyat,” kata Teddy.

Ia bilang, kondisi ini tercermin dari kenyataannya bawah lebih dari 80 persen pemegang IUP Operasi Produksi (OP) untuk pengolahan dan pemurnian, yang memperoleh bahan baku dari penambang rakyat atau ilegal mining.

Menurut Teddy, seharusnya hal ini tidak terjadi lagi dan harus dibenahi mengikuti aturan yang berlaku.

"Faktor pengawasan memiliki peran penting agar industri pertambangan timah dapat berkelanjutan berkelanjutan," pungkas dia.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com