Pemerintah melalui Badan Pangan Nasional menyebutkan kenaikan harga telur saat ini karena sedang mencari keseimbangan (ekuilibrium) sebagai akibat kenaikan pada beberapa variabel biaya.
Banyak variabel yang membuat harga telur mengalami kenaikan. Salah satunya yang juga memberi kontribusi besar, yakni biaya transportasi.
Apalagi telur bukan komoditi yang tahan lama. Yang pasti harga telur tidak mungkin untuk kembali ke harga Rp 19.000 hingga Rp 20.000 per kilogram karena bakal mematikan peternak.
Siapakah yang paling diuntungkan atas lonjakan harga komoditas pangan seperti telur ayam, beberapa hari terakhir?
Kemungkinan banyak yang menjawab peternak/petani yang paling diuntungkan dengan melambungnya harga komoditas kelompok bahan pangan bergejolak (volatile food) tersebut.
Secara logika memang bisa dipahami bahwa semakin tinggi lonjakan harga suatu komoditas, maka ada peningkatan pendapatan dan kesejahteraan produsen.
Jadi dalam kaitan melonjaknya harga beberapa komoditas pangan akhir-akhir ini seharusnya petani/peternaklah yang paling diuntungkan.
Namun yang terjadi pada usaha pertanian/peternakan rakyat, tidak selamanya mengikuti logika tersebut.
Hal itu bisa terjadi karena para petani/peternak rakyat mengalami apa yang disebut paradoks produktivitas (productivity paradox).
Kondisi paradoks secara jelas tergambarkan dalam industri peternakan ayam rakyat. Masalah sistemik yang melingkupi usaha peternakan ayam rakyat ini berpangkal pada tingginya angka produksi.
Tulis komentarmu dengan tagar #JernihBerkomentar dan menangkan e-voucher untuk 90 pemenang!
Syarat & KetentuanPeriksa kembali dan lengkapi data dirimu.
Data dirimu akan digunakan untuk verifikasi akun ketika kamu membutuhkan bantuan atau ketika ditemukan aktivitas tidak biasa pada akunmu.
Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.