Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Irvan Maulana
Direktur Center of Economic and Social Innovation Studies (CESIS)

Peneliti dan Penulis

Paradoks "Kecanduan" Inflasi

Kompas.com - 05/09/2022, 17:50 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

PAUL Krugman, pemenang Nobel Ekonomi, dalam artikel berjudul “Addicted to Inflation” di harian The New York Times tahun 2014 mewanti-wanti bahwa inflasi akan membangkitkan efek “candu” bagi pihak-pihak yang memiliki kekuatan politik dan ekonomi.

Perusahaan-perusahaan yang mencengkram pangsa pasar akan mendulang profit yang besar di kala harga-harga melejit. Krugman menyebutnya dengan istilah “kecanduan inflasi” yang membuat harga melonjak tak terkendali.

Sejalan dengan itu, Ketua Federal Reserves Amerika Serikat (AS), Jerome Powell, dalam Simposium Jackson Hole menyatakan, saat inflasi tinggi, akan semakin banyak pihak yang mengharapkan inflasi tetap tinggi (Bloomberg, 26/8/2022).

Baca juga: Harga BBM Naik, Kemenkeu Perkirakan Inflasi Tembus 6,8 Persen

Ini yang menyebabkan akar kecanduan inflasi semakin dalam. Semakin lama inflasi tinggi mencengkram masyarakat, semakin besar pula ekspektasi tinggi inflasi akan tertanam.

Untuk meredam lonjakan tersebut, AS telah menyetujui The Inflation Reduction Act yang diklaim sebagai Rancangan Undang-Undang (RUU) Pengendalian Inflasi dalam jangka panjang.

Meski menuai banyak kritikan, langkah legislasi itu ditempuh sebagai kebijakan pelengkap mengekang inflasi jangka panjang, memerangi perubahan iklim, menurunkan biaya perawatan kesehatan, dan mengurangi defisit anggaran.

Fokus utama RUU Pengendalian Inflasi itu menyokong subsidi energi terbarukan (green subsidies) dan meluruhkan permintaan masyarakat pada energi fosil. Pemerintah berusaha menjadi penengah pasar dan menekan beban harga bahan bakar minyak (BBM) yang dibayar konsumen.

Saat harga BBM naik, perusahaan memiliki kekuatan untuk menaikkan harga demi meminimalkan penurunan pendapatan (minimize earnings declines), alias berkepentingan melindungi keuntungan (protect profits). Perusahaan tidak akan punya pilihan selain meneruskan beban inflasi itu kepada konsumen.

Upaya tersebut menyiratkan bahwa betapa pentingnya intervensi pemerintah dalam menjaga daya beli masyarakat. Selama ini, terbatasnya ruang resonansi publik bagi konsumen serta lemahnya perlindungan konsumen membuat banyak perusahaan memanfaatkan inflasi sebagai momen mendulang profit melimpah.

Korporasi berpeluang melakukan eksploitasi asimetri informasi dengan memanfaatkan inflasi sebagai alasan untuk menaikkan harga melebihi ekspektasi konsumen.

Jika perusahaan menanggung kenaikan akumulasi biaya produksi yang menyebabkan margin keuntungan terkikis, maka mereka akan bertumpu pada inflasi untuk menebus kenaikan biaya masa lalu dan untuk kenaikan biaya masa depan yang diharapkan.

Bahkan, perusahaan ikut menaikkan harga produk meski biaya yang dikeluarkan tidak terpengaruh masalah rantai pasokan atau inflasi secara langsung. Inilah yang menyebabkan inflasi tak lagi bersifat sementara (transitory) dalam jangka pendek. Kondisi ini tentu akan memicu fenomena greedflation.

Fenomena greedflation

Greedflation adalah inflasi yang dipicu kenaikan harga yang tidak wajar (price-gouging) dari perusahaan yang ingin meraup profit secara berlebihan. Dengan kata lain, perusahaan merasa berhak mengambil keuntungan atas harga yang lebih tinggi karena tekanan inflasi.

Hal tersebut menjadi alasan mendasar di balik kenaikan biaya barang dan jasa. (Konczal, 2022).

Jika ditelisik lebih lanjut, fenomena-fenomena seperti itu sejatinya konsekuensi logis dari fokus inflasi yang selama ini hanya terpaku pada aspek kuantitatif semata. Perhitungan inflasi tidaklah keliru dan memang lazim dilakukan banyak negara di dunia.

Kepraktisan dan komparabilitas menjadi alasan umum yang bisa diterima. Namun, di balik argumen tersebut, tersimpan kelemahan yang sangat mendasar.

Pokok persoalannya, perhitungan angka inflasi sama sekali tak mengalkulasi dimensi perilaku pasar dan kualitas produk. Angka Inflasi tak mampu menangkap fenomena-fenomena manipulatif yang dilancarkan produsen untuk mendongkrak profit di tengah inflasi.

Shrinkflation, misalnya, yakni strategi menjaga biaya tetap agar terkendali dengan mengurangi ukuran produk di tingkat harga yang sama.

Baca juga: Apa Itu Inflasi?

Di Indonesia, fenomena-fenomena tersebut sudah perlu diwaspadai sebab lonjakan Indeks Harga Produsen (IHP) pada kuartal II/2022 telah menyentuh 11,77 persen secara tahunan (yoy). Ini merupakan indikasi yang cukup signifikan terkait lonjakan inflasi dari sisi penawaran.

Alarm biaya produksi meningkat telah menyala, sehingga produsen sudah mengalami tekanan harga yang jauh lebih mahal dibandingkan kondisi sebelumnya. Tingkat harga produsen yang lebih tinggi tersebut akan berdampak langsung pada harga di level konsumen di masa mendatang.

Jika dibandingkan, IHP saat ini tercatat lebih rendah dari IHK. Hal ini dikarenakan produsen masih belum menaikkan harga di tingkat konsumen, karena masih tertahan oleh subsidi dan kompensasi energi yang diberikan pemerintah.

Selisih antara inflasi IHP dan IHK ke depan akan menyempit karena konsumen akan menanggung biaya limpahan produsen (pass-through) yang signifikan akibat subsidi yang secara perlahan akan dikurangi pemerintah.

Hal itu menyebabkan profit margin perusahaan kian tipis dan produsen tak segan melimpahkan harga ke konsumen. IHK bisa naik cukup drastis.  Inilah yang perlu kita antisipasi dalam beberapa waktu ke depan.

Paradoks upah dan inflasi

Namun di sisi lain, laporan tengah tahun CEIC Data menunjukkan margin laba yang diinginkan (expected profit margin) perusahaan tumbuh rata-rata 15,31 persen pada Juni 2022. Rekor ini naik dari angka sebelumnya sebesar 15,18 persen pada Desember 2021.

Tentu saja kondisi itu merupakan paradoks, dimana rata-rata perusahaan masih menikmati profit tinggi di tengah inflasi yang semakin tinggi.

Selama ini, inflasi menjadi salah satu “kambing hitam” korporasi sebagai alasan untuk tidak menaikkan besaran upah minimum. Padahal saat perusahaan berhasil mendulang untung, maka ruang ekspansi bisnis dan reinvestasi seharusnya semakin luas.

Profit tinggi dapat diinvestasikan kembali untuk memperbaiki seluruh masalah warisan saat pandemi melanda. Maka sudah saatnya upah minimum provinsi (UMP) 2023 menyesuaikan dengan daya beli masyarakat yang tergerus inflasi.

Dalam situasi yang semakin normal, ketika terjadi kenaikan harga kebutuhan atau biaya hidup, maka tuntutan kenaikan upah merupakan hal yang sangat wajar. Implikasi rendahnya kenaikan UMP di tengah inflasi yang sudah tinggi juga menghambat pemulihan ekonomi.

Ke depan, polemik kenaikan upah diharapkan tak lagi mewarnai pembahasan dan penetapan UMP. Persoalan UMP memang merupakan persoalan penting bagi kesejahteraan kaum pekerja dan keberhasilan dunia usaha.

Sebagai subjek penting dalam pengelolaan usaha, sudah seharusnya nasib buruh mendapatkan perhatian sungguh-sungguh dari semua pihak, termasuk hak UMP yang layak. Namun, diperlukan ketulusan dan kejujuran dari semua pihak yang membicarakan UMP atas nama buruh, pengusaha, dan pemerintah.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Ada Gempa Garut, Kereta Cepat Whoosh Tetap Beroperasi Normal

Ada Gempa Garut, Kereta Cepat Whoosh Tetap Beroperasi Normal

Whats New
Akhirnya, Bea Cukai Bebaskan Bea Masuk Alat Belajar SLB yang Tertahan Sejak 2022

Akhirnya, Bea Cukai Bebaskan Bea Masuk Alat Belajar SLB yang Tertahan Sejak 2022

Whats New
Sri Mulyani Minta Ditjen Bea Cukai Perbaiki Layanan Usai 3 Keluhan Terkait Pelayanan Viral di Medsos

Sri Mulyani Minta Ditjen Bea Cukai Perbaiki Layanan Usai 3 Keluhan Terkait Pelayanan Viral di Medsos

Whats New
Menuju Indonesia Emas 2045, Pelaku Usaha Butuh Solusi Manajemen SDM yang Terdigitalisasi

Menuju Indonesia Emas 2045, Pelaku Usaha Butuh Solusi Manajemen SDM yang Terdigitalisasi

Whats New
Jadi Sorotan, Ini 3 Keluhan Warganet soal Bea Cukai yang Viral Pekan Ini

Jadi Sorotan, Ini 3 Keluhan Warganet soal Bea Cukai yang Viral Pekan Ini

Whats New
Perhitungan Lengkap Versi Bea Cukai soal Tagihan Rp 31 Juta ke Pembeli Sepatu Seharga Rp 10 Juta

Perhitungan Lengkap Versi Bea Cukai soal Tagihan Rp 31 Juta ke Pembeli Sepatu Seharga Rp 10 Juta

Whats New
Berapa Gaji dan Tunjangan Pegawai Bea Cukai Kemenkeu?

Berapa Gaji dan Tunjangan Pegawai Bea Cukai Kemenkeu?

Work Smart
Dukung 'Green Building', Mitsubishi Electric Komitmen Tingkatkan TKDN Produknya

Dukung "Green Building", Mitsubishi Electric Komitmen Tingkatkan TKDN Produknya

Whats New
Kemenhub Cabut Status 17 Bandara Internasional, Ini Alasannya

Kemenhub Cabut Status 17 Bandara Internasional, Ini Alasannya

Whats New
Kinerja Pegawai Bea Cukai 'Dirujak' Netizen, Ini Respon Sri Mulyani

Kinerja Pegawai Bea Cukai "Dirujak" Netizen, Ini Respon Sri Mulyani

Whats New
Pembatasan Impor Barang Elektronik Dinilai Bisa Dorong Pemasok Buka Pabrik di RI

Pembatasan Impor Barang Elektronik Dinilai Bisa Dorong Pemasok Buka Pabrik di RI

Whats New
Sukuk Wakaf Ritel adalah Apa? Ini Pengertian dan Karakteristiknya

Sukuk Wakaf Ritel adalah Apa? Ini Pengertian dan Karakteristiknya

Work Smart
Viral Mainan 'Influencer' Tertahan di Bea Cukai, Ini Penjelasan Sri Mulyani

Viral Mainan "Influencer" Tertahan di Bea Cukai, Ini Penjelasan Sri Mulyani

Whats New
Harga Emas ANTAM: Detail Harga Terbaru Pada Minggu 28 April 2024

Harga Emas ANTAM: Detail Harga Terbaru Pada Minggu 28 April 2024

Spend Smart
Harga Emas Terbaru 28 April 2024 di Pegadaian

Harga Emas Terbaru 28 April 2024 di Pegadaian

Spend Smart
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com