Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Anggito Abimanyu
Dosen UGM

Dosen Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Ketua Departemen Ekonomi dan Bisnis, Sekolah Vokasi UGM. Ketua Bidang Organisasi, Ikatan Sarjana Ekonomi Indonesia

Pengalaman Menghadapi Badai Krisis

Kompas.com - 14/11/2022, 07:00 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

DALAM “Inside Job”, sebuah film dokumenter produksi tahun 2010, krisis finansial global akhir tahun 2000-an digambarkan suasana yang mencekam.

Harga saham Wall Street berjatuhan, diiringi dengan kepanikan yang luar biasa dari para pialang dan pelaku pasar modal di Amerika Serikat.

Kebangkrutan demi kebangkrutan perusahaan raksasa terjadi di AS dan Eropa. Film ini menggambarkan mengenai korupsi sistemik pada sektor keuangan di AS dan konsekuensinya pada industri keuangan global.

Pada tahun 2000-an, industri jasa keuangan dunia didominasi oleh lima investment bank, yakni Goldman Sachs, Morgan Stanley, Lehman Brothers, Merrill Lynch, dan Bear Stearns, dua konglomerat sektor jasa keuangan (Citigroup, JPMorgan Chase), tiga perusahaan asuransi sekuritisasi (AIG, MBIA, AMBAC), dan tiga lembaga pemeringkat (Moody's, Standard & Poor's, dan Fitch).

Pada pertengahan tahun 2000-an, investment banks membuat skema budling antara kredit perumahan (mortgages) dengan pinjaman dan surat utang menjadi collateralized debt obligations (CDOs), kemudian mereka menjual kepada pihak investor.

Lembaga pemeringkat memberikan CDO dengan predikat peringkat sangat layak investasi (AAA). Maka terjadilah penggelembungan kredit perumahan yang masif dan membuat pembiayaan dalam bentuk surat utang menjadi mahal.

Pinjaman subprime berubah menjadi semacam pinjaman paksa (predatory lending). Banyak pemilik rumah yang tidak mampu menggembalikan pinjamannya.

Investor kelas kakap pemilik surat utang tersebut, lembaga-lembaga keuangan besar dan menengah mengalami kerugian, bahkan kebangkrutan.

Kejadiannya merembet ke investor dan bank kecil. Bank-bank dan investor berskala kecil, meskipun tidak masuk dalam kategori bank/investasi sistemik, namun tetap saja terkena dampaknya.

Sebagai tindakan preventif, otoritas moneter dan jasa keuangan di AS dan Eropa memberikan kebijakan suntikan dana dan melakukan kebijakan jaminan penuh nasabah.

Negara berkembang juga mengeluarkan kebijakan jaminan penuh bagi bank agar tidak terjadi pelarian nasabah.

Indonesia ikut memberikan jaminan keamanan dananya untuk memberikan kepercayaan nasabah.

Di Indonesia, pada akhir 2018, rupiah terdepresiasi sangat dalam, indeks saham di bursa efek mengalami kemerosotan, harga Surat Berharga Negara (SBN) berjatuhan, dan risiko bisnis naik tiga kali lipat.

Hampir dipastikan jika pada waktu itu tidak ada solusi global, multilateral dan respons kebijakan ekonomi domestik, Indonesia akan ikut terjerumus dalam krisis ekonomi berkepanjangan.

Tahun 2008, ditandai dengan suntikan modal the Fed, bank sentral AS bagi lembaga keuangan yang kesulitan permodalan. Ini merupakan suntikan modal bank sentral terbesar sepanjang masa.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com