Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Muhamad Rosyid Jazuli
Peneliti

Peneliti di Paramadina Public Policy Institute, mahasiswa doktoral University College London, dan Pengurus PCI Nahdlatul Ulama UK.

Tantangan Pendanaan Hijau

Kompas.com - 28/01/2023, 09:54 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

INDONESIA panen pujian dari beberapa instansi global dan pemimpin dunia atas suksesnya acara Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) G20, di Bali, akhir tahun 2022. Selain atas kelancaran dan keamanan selama konferensi, apresiasi disematkan pada komitmen Indonesia terkait agenda ekonomi hijau, khususnya transisi energi yang berkeadilan.

Pujian, misalnya, datang dari Perdana Menteri Inggris Raya, Rishi Sunak, dalam pidatonya di Parlemen, 17 November 2022, memuji kesuksesan G20 Indonesia yang berhasil diselenggarakan di tengah “krisis ekonomi global terburuk sejak 2008.” Secara khusus, PM Inggris berdarah Asia ini mengapresiasi kemauan Indonesia untuk menyepakati Kerjasama Transisi Energi Berkeadilan atau Just Energy Transition Partnership (JETP) Indonesia.

Baca juga: Pendanaan Transisi Energi JETP Indonesia Harus Sejalan dengan Ambisi Komitmen Iklim

Lembaga riset terkemuka International Energy Agency (IEA) menyatakan, JETP Indonesia adalah “tonggak penting dalam era baru kerja sama iklim internasional”. Sebagai sebuah komitmen politik, JETP ini merupakan kerja sama untuk pembangunan hijau atau rendah karbon antara Pemerintah Indonesia dengan Kelompok Mitra Antarnegara atau International Partners Group (IPG), pimpinan Amerika Serikat dan Jepang (Gov.uk, 15/12/2022).

IPG beranggotakan negara-negara ekonomi maju yakni Inggris, Jerman, Prancis, Uni Eropa, Kanada, Italia, Norwegia, dan Denmark. Di satu sisi, kerja sama itu menunjukkan bahwa negara-negara besar makin memperhatikan peran Indonesia dalam kancah politik dunia.

Namun di sisi lain, para pemangku kepentingan, khususnya pemerintah dan publik, harus kritis menyikapi potensi pendanaan hijau ini. Sebab, adopsi agenda pembangunan rendah karbon tak bebas dari berbagai tantangan.

Ambivalensi Kebijakan

Secara internal, JETP menambah ‘tumpukan’ komitmen Indonesia terhadap agenda pembangunan hijau. Sebelumnya, lewat PP 79/2014 tentang Kebijakan Energi Nasional, dan Perpres 22/2017 tentang Rencana Umum Energi Nasional, Indonesia menargetkan penggunaan energi terbarukan minimum sebesar 23 persen pada 2025 dan 31 persen pada 2050.

Indonesia juga telah meratifikasi Perjanjian Paris, yang ditransformasikan ke dalam UU Nomor 16 Tahun 2016 (Tentang Pengesahan Persetujuan Paris atas Konvensi Kerangka Kerja Perserikatan Bangsa-Bangsa Mengenai Perubahan Iklim.

Tumpukan regulasi itu, sayangnya, bertentangan dengan beberapa data terkait. Misalnya, realisasi potensi sumber energi terbarukan di Indonesia nyatanya masih seret, baru sekitar 5-8 persen. Selain itu, alih-alih turun, produksi listrik berbasis batu bara di Indonesia terus meningkat, dari nol pada 1971 menjadi 64 persen dari total penyediaan listrik pada 2020 (IESR Indonesia, 2020).

Dalam Nota Keuangan 2022, batu bara disebut sebagai salah satu komoditas ekspor unggulan. Sepanjang 2021-2022, kenaikan harga batu bara mengganjar Indonesia ‘rejeki nomplok’ (windfall profits). Batubara menyumbang sekitar 5-6 persen dari PDB nasional Indonesia—angka yang signifikan tentunya.

Signifikansi batu bara terhadap ekonomi dan bauran energi di Indonesia merefleksikan ambivalensi kebijakan yang menjadi tantangan utama bagi, tak hanya JETP, tetapi juga agenda pembangunan rendah emisi karbon pada umumnya.

Di satu sisi pemerintah terus menumpuk komitmen demi komitmen atas pembangunan hijau. Di sisi lain sumber energi tak terbarukan tetap jadi primadona ekonomi.

Baca juga: Kemampuan Transisi Energi Hijau dan Ekonomi Biru RI Disebut Masih dalam Skala Menengah

Selain itu, sedianya JETP Indonesia memobilisasi dana sekitar 20 miliar dollar AS atau sekitar Rp 300-an triliun dalam 3-5 tahun ke depan. Salah satu tujuan utamanya: ‘menyuntik mati’ beberapa PLTU batu bara.

Namun, Indonesia jelas harus jeli melihat bahwa potensi dana tersebut bukan tanpa ‘syarat dan ketentuan (S&K) berlaku’. Beberapa ahli mewanti-wanti. Bukan tak mungkin pendanaan tersebut datang dalam skema utang atau pinjaman lunak.

Mekanisme utang itu umum dilakukan oleh negara-negara maju untuk negara-negara berkembang. Profesor Jeffery Sachs dari Columbia University, AS, sebagai contoh, menyebut skema utang itu sebagai bentuk neokolonialisme.

Sebagai informasi, JETP Indonesia merupakan inisiatif kedua setelah JETP Afrika Selatan (Afsel) yang disepakati pada COP26 di Glasgow, Skotlandia tahun 2021. Bekerja sama dengan IPG, JETP Afsel juga rencananya memobilisasi dana awal 8,5 miliar dollar AS untuk mengkatalisasi transisi energi di negara tersebut.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Ada Gempa Garut, Kereta Cepat Whoosh Tetap Beroperasi Normal

Ada Gempa Garut, Kereta Cepat Whoosh Tetap Beroperasi Normal

Whats New
Akhirnya, Bea Cukai Bebaskan Bea Masuk Alat Belajar SLB yang Tertahan Sejak 2022

Akhirnya, Bea Cukai Bebaskan Bea Masuk Alat Belajar SLB yang Tertahan Sejak 2022

Whats New
Sri Mulyani Minta Ditjen Bea Cukai Perbaiki Layanan Usai 3 Keluhan Terkait Pelayanan Viral di Medsos

Sri Mulyani Minta Ditjen Bea Cukai Perbaiki Layanan Usai 3 Keluhan Terkait Pelayanan Viral di Medsos

Whats New
Menuju Indonesia Emas 2045, Pelaku Usaha Butuh Solusi Manajemen SDM yang Terdigitalisasi

Menuju Indonesia Emas 2045, Pelaku Usaha Butuh Solusi Manajemen SDM yang Terdigitalisasi

Whats New
Jadi Sorotan, Ini 3 Keluhan Warganet soal Bea Cukai yang Viral Pekan Ini

Jadi Sorotan, Ini 3 Keluhan Warganet soal Bea Cukai yang Viral Pekan Ini

Whats New
Perhitungan Lengkap Versi Bea Cukai soal Tagihan Rp 31 Juta ke Pembeli Sepatu Seharga Rp 10 Juta

Perhitungan Lengkap Versi Bea Cukai soal Tagihan Rp 31 Juta ke Pembeli Sepatu Seharga Rp 10 Juta

Whats New
Berapa Gaji dan Tunjangan Pegawai Bea Cukai Kemenkeu?

Berapa Gaji dan Tunjangan Pegawai Bea Cukai Kemenkeu?

Work Smart
Dukung 'Green Building', Mitsubishi Electric Komitmen Tingkatkan TKDN Produknya

Dukung "Green Building", Mitsubishi Electric Komitmen Tingkatkan TKDN Produknya

Whats New
Kemenhub Cabut Status 17 Bandara Internasional, Ini Alasannya

Kemenhub Cabut Status 17 Bandara Internasional, Ini Alasannya

Whats New
Kinerja Pegawai Bea Cukai 'Dirujak' Netizen, Ini Respon Sri Mulyani

Kinerja Pegawai Bea Cukai "Dirujak" Netizen, Ini Respon Sri Mulyani

Whats New
Pembatasan Impor Barang Elektronik Dinilai Bisa Dorong Pemasok Buka Pabrik di RI

Pembatasan Impor Barang Elektronik Dinilai Bisa Dorong Pemasok Buka Pabrik di RI

Whats New
Sukuk Wakaf Ritel adalah Apa? Ini Pengertian dan Karakteristiknya

Sukuk Wakaf Ritel adalah Apa? Ini Pengertian dan Karakteristiknya

Work Smart
Viral Mainan 'Influencer' Tertahan di Bea Cukai, Ini Penjelasan Sri Mulyani

Viral Mainan "Influencer" Tertahan di Bea Cukai, Ini Penjelasan Sri Mulyani

Whats New
Harga Emas ANTAM: Detail Harga Terbaru Pada Minggu 28 April 2024

Harga Emas ANTAM: Detail Harga Terbaru Pada Minggu 28 April 2024

Spend Smart
Harga Emas Terbaru 28 April 2024 di Pegadaian

Harga Emas Terbaru 28 April 2024 di Pegadaian

Spend Smart
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com