Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Apa Penyebab Tupperware Terancam Bangkrut?

Kompas.com - 14/04/2023, 10:40 WIB
Agustinus Rangga Respati,
Aprillia Ika

Tim Redaksi

NEW YORK, KOMPAS.com - Perusahaan produsen peralatan rumah tangga, Tupperware terancam bakal gulung tikar alias bangkrut.

Perusahaan yang berbasis di Florida, Amerika Serikat ini mengatakan, perusahaan kekurangan uang tunai, dan membutuhkan uang tambahan segera.

Padahal Tupperware sendiri telah dikenal sebagai raksasa dalam produk rumah tangga dengan beredar di hampir 70 negara.

Para ahli mengatakan, hal ini terjadi pada jenama perintis ketika gagal beradaptasi dengan pasar yang terus berkembang, persaingan yang brutal, dan sikap dan kebutuhan konsumen yang lebih muda.

Baca juga: Terancam Gulung Tikar, Ini Sejarah Tupperware

Profesor pemasaran dan e-niaga di Mays Business School dari Texas A&M University Ventakesh Shankar mengatakan, Tupperware muncul dengan luar biasa di pasar dan rumah tangga nasional ketika wadah penyimpanan plastiknya diluncurkan pada tahun 1946.

"Perusahaan juga memiliki dampak budaya yang luar biasa. Pesta rumah lingkungan yang terkenal di mana produk Tupperware dijual oleh tuan rumah kepada keluarga dan teman-temannya adalah cara pemasaran baru, menggabungkan sosialisasi dengan penjualan langsung,” ujar dia dikutip dari CNN, Jumat (14/4/2023).

Setelah perusahaan menuai keuntungan dengan pendekatan inovatif selama bertahun-tahun, Tupperware pada akhirnya tidak dapat mengikuti perkembangan zaman.

Ventakesh Shankar bilang, dalam sejarah, nostalgia biasanya tidak cukup untuk mempertahankan mereka lama.

Baca juga: Terancam Bangkrut, Siapa Sebenarnya Pemilik Tupperware?

Kalah bersaing? 

Sementara, profesor pemasaran di College of New Jersey School of Business William Keep menerangkan, Tupperware membuat dua kesalahan fatal sampai berada di ambang kebangkrutan.

Secara produk, Tupperware mulai kedodoran dalam persaingan dengan produsen lain.

Di sisi lain, Tupperware juga secara sadar tidak meninggalkan penjualan langsung, bahkan ketika strategi pemasaran tersebut mengalami stagnansi pada medio tahun 1980-1990.

"Ketika sudah jelas bahwa model tidak lagi berfungsi, perusahaan seharusnya menyerah pada penjualan langsung dan menjualnya melalui pengecer,” ujar dia.

Halaman:


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com