Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Abdul Nasir
Dosen

Dosen dan peneliti di Fakultas Ekonomi dan Bisnis di Universitas Jember

Menata Ulang Bisnis Antar Negara untuk Tingkatkan Cadangan Devisa

Kompas.com - 17/04/2023, 09:58 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

PEMERINTAH telah mengubah Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 1/2009 terkait repatriasi dan retensi pendapatan ekspor dari komoditas sumber daya alam (SDA) ke sistem keuangan dalam negeri. Hal ini diarahkan untuk meningkatkan cadangan devisa Indonesia dan membantu menstabilkan nilai tukar rupiah.

Intinya untuk mengikat lebih erat hubungan antara ekonomi riil dengan sektor keuangan. Sejatinya, sektor keuangan berperan sebagai perantara sektor lainnya dalam perekonomian.

Kebijakan retensi pendapatan ekspor seringkali digunakan oleh negara-negara berkembang, terutama yang sangat bergantung pada ekspor SDA. Kebijakan ini berfungsi meningkatkan interkoneksi dalam ekspor dan kedalaman sektor keuangan, serta membantu menjaga stabilitas nilai tukar melalui konversi pendapatan ekspor ke dalam mata uang lokal.

Baca juga: Cadangan Devisa RI Februari 2023 Naik Jadi 140,3 Miliar Dollar AS

Peluang dari commodity boom

Fenomena commodity boom telah meningkatkan surplus perdagangan Indonesia menjadi 54,46 miliar dolar AS (2022) dari 35,42 miliar dolar (2021). Akan tetapi, neraca perdagangan yang positif tampaknya tidak bisa memberikan kontribusi signifikan terhadap cadangan devisa Bank Indonesia (BI).

Hal itu terlihat dari kemampuan cadangan devisa yang terus turun dari bulan Januari 2022 sampai Oktober 2022. Mengacu pada data yang dirilis BI pada Februari 2023, posisi cadangan devisa memang sudah mulai naik kembali menjadi 140,3 miliar dolar.

Namun, Indonesia telah kehilangan cadangan devisa potensial yang besar dari momentum commodity boom. Ini lantaran para eksportir ragu membawa pulang pendapatan ekspornya karena kurangnya insentif dan instrumen investasi dalam negeri, serta rendahnya suku bunga simpanan valuta asing.

Dalam jangka pendek, hal ini bisa menimbulkan risiko terhadap stabilitas nilai tukar yang terpukul oleh isu inflasi dan pengetatan kebijakan moneter global.

BI telah menaikkan suku bunga sebesar 225 basis poin antara Agustus 2022 dan Januari 2023, menjadi 5,75 persen saat ini, untuk mengekang arus keluar modal.

Saat ini, ada dua macam kebijakan tentang insentif dan penahanan devisa ekspor komoditas SDA, sebagaimana dalam Peraturan Pemerintah Nomor 1/2009. Peraturan tersebut mewajibkan perusahaan untuk mengembalikan pendapatan ekspor mereka dari komoditas SDA ke dalam sistem keuangan domestik.

Caranya adalah menempatkannya ke dalam rekening khusus di bank yang melakukan bisnis dalam mata uang asing, dan paling lambat akhir bulan ketiga setelah menyampaikan pemberitahuan pabean ekspor.

Perusahaan berhak menggunakan laba ditahan ekspor untuk membayar bea ekspor beserta pungutan terkait lainnya, seperti pinjaman, impor, dividen eksportir, sebagaimana diatur dalam Pasal 8 UU Penanaman Modal Nomor 25/2007.

Dalam aras insentif untuk mempertahankan laba ekspor bisa lama dalam sistem keuangan domestik, BI menurunkan laba ditahan ekspor yang disimpan di bank umum dari rasio cadangan minimum wajib. Hal ini supaya bank domestik bisa memberikan suku bunga yang menarik bagi eksportir.

Kementerian Keuangan juga menurunkan simpanan devisa di bank domestik dari pendapatan bunga untuk menarik minat eksportir dalam memasukkan pendapatan ekspornya ke dalam sistem keuangan domestik.

Namun, insentif tersebut dirasa kurang menarik bagi banyak eksportir. Karena kurangnya instrumen investasi dana devisa dan rendahnya suku bunga simpanan devisa di bank domestik.

Hal itu memaksa BI berpendapat bahwa eksportir sering memilih untuk membayar sanksi administrasi karena tidak mematuhi Peraturan Pemerintah Nomor 1/2009. Pemerintah mungkin akan memperkuat kebijakan insentif dan disinsentif untuk memaksa eksportir merepatriasi devisa hasil devisanya.

Di sisi lain, eksportir juga harus diberikan instrumen investasi yang lebih beragam sehingga mereka bisa menempatkan pendapatan devisa mereka, dan bank perlu menaikkan suku bunga untuk simpanan devisa.

Pemerintah juga bisa memperpanjang jangka waktu minimal tiga bulan saat ini untuk wajib menahan devisa di bank-bank dalam negeri.

Negara lain yang juga mengamanatkan retensi pendapatan ekspor telah menetapkan jangka waktu minimal sekitar dua tahun. Selain itu, beberapa negara memberlakukan retensi wajib di bank domestik untuk pendapatan ekspor tidak hanya dari barang dan barang dagangan, seperti yang dilakukan Indonesia, Malaysia, dan Nepal, tetapi juga jasa seperti Bangladesh, India, Pakistan, dan Thailand.

Hal ini juga berlaku jamak, tidak pelak banyak negara juga mengenakan kewajiban konversi pada tingkat yang berbeda-beda, bergantung pada stabilitas nilai tukar.

Kebijakan Devisa Hasil Ekspor (DHE)

Kebijakan devisa hasil ekspor (DHE) yang tidak berdasarkan mekanisme pasar bisa bertentangan dengan beberapa standar internasional untuk devisa bebas seperti Pasal VII Dana Moneter Internasional. Namun, harus digarisbawahi bahwa negara berkembang dengan mata uang lemah perlu penegakan hukum yang lebih kuat.

Kewajiban menahan pendapatan ekspor di bank domestik merupakan sebuah keniscayaan dalam rangka meningkatkan ketahanan ekonomi dan kedalaman sektor keuangan mereka. Akan tetapi, pelaksanaan kebijakan yang memaksa ini juga harus memberikan kelonggaran yang cukup bagi eksportir.

Baca juga: BI Kantongi Devisa Hasil Ekspor 173 Juta Dollar AS

Pasalnya, gejolak keuangan global saat ini menuntut masyarakat, termasuk dunia usaha, bersiap menghadapi ketidakpastian nilai tukar.

Terbaru, pemerintah tengah menyiapkan aturan dalam upaya menahan dana hasil ekspor. Ancangan waktunya adalah menahan selama tiga bulan di brankas perbankan.

Kebijakan itu disiapkan melalui PP No 1 Thun 2019 tentang Dana Hasil Eskpor (DHE). Namun yang perlu dipastikan bahwa kebijakan ini bukan dalam bentuk kontrol devisa. Karena akan bertentangan dengan sistem devisa kita yang menganut rezim bebas dalam lalu lintas devisa.

Dengan kata lain, eksportir masih bebas menggunakan dana hasil eskpornya. Jadi masih ada pilihan dalam penggunaannya. Kondisi ini menyiratkan pemerintah dan BI perlu membuat instrumen yang menarik. Utamanya agar eskportir menempatkan DHE di sistem keuangan kita.

Win-win solution

Secara keseluruhan, yang dibutuhkan eksportir sebenarnya adalah win-win solution. Dengan menempatkan DHE mereka di sistem keuangan kita, berarti pemerintah harus siap menjamunya. Dengan kata lain memberi insentif yang cukup, terutama insentif pendapatan bunga.

Baca juga: 200 Perusahaan SDA Berpotensi Tempatkan Devisa Hasil Ekspor Cukup Besar di Dalam Negeri

Ketentuan tentang hal itu menjadi penting di tengah bayangan turbulensi ekonomi global dan  ancaman stagflasi masih terus membayangi. Makanya, optimalisasi DHE dapat memperkuat cadangan devisa. Suatu hal yang menjadi salah satu senjata utama ketika terjadi schock global, terutama yang mengancam kestabilan inflasi dan nilai tukar.

Rembetan stabiliasasi keuangan kita tidak hanya menjadi payung bagi pemerintah kita, terlebih juga menjadi jas hujan bagi para pelaku ekonomi, termasuk para eskportir itu sendiri.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Pencabutan Status 17 Bandara Internasional Tak Berdampak ke Industri Penerbangan

Pencabutan Status 17 Bandara Internasional Tak Berdampak ke Industri Penerbangan

Whats New
Emiten Sawit Milik TP Rachmat (TAPG) Bakal Tebar Dividen Rp 1,8 Triliun

Emiten Sawit Milik TP Rachmat (TAPG) Bakal Tebar Dividen Rp 1,8 Triliun

Whats New
Adu Kinerja Keuangan Bank BUMN per Kuartal I 2024

Adu Kinerja Keuangan Bank BUMN per Kuartal I 2024

Whats New
Setelah Investasi di Indonesia, Microsoft Umumkan Bakal Buka Pusat Data Baru di Thailand

Setelah Investasi di Indonesia, Microsoft Umumkan Bakal Buka Pusat Data Baru di Thailand

Whats New
Emiten Persewaan Forklift SMIL Raup Penjualan Rp 97,5 Miliar pada Kuartal I 2024

Emiten Persewaan Forklift SMIL Raup Penjualan Rp 97,5 Miliar pada Kuartal I 2024

Whats New
BNI Danai Akusisi PLTB Sidrap Senilai Rp 1,76 Triliun

BNI Danai Akusisi PLTB Sidrap Senilai Rp 1,76 Triliun

Whats New
Soroti Kinerja Sektor Furnitur, Menperin: Masih di Bawah Target

Soroti Kinerja Sektor Furnitur, Menperin: Masih di Bawah Target

Whats New
Harga Jagung Turun di Sumbawa, Presiden Jokowi: Hilirisasi Jadi Kunci Stabilkan Harga

Harga Jagung Turun di Sumbawa, Presiden Jokowi: Hilirisasi Jadi Kunci Stabilkan Harga

Whats New
IHSG Ditutup Merosot 1,61 Persen, Rupiah Perkasa

IHSG Ditutup Merosot 1,61 Persen, Rupiah Perkasa

Whats New
Emiten TPIA Milik Prajogo Pangestu Rugi Rp 539 Miliar pada Kuartal I 2024, Ini Sebabnya

Emiten TPIA Milik Prajogo Pangestu Rugi Rp 539 Miliar pada Kuartal I 2024, Ini Sebabnya

Whats New
BI Beberkan 3 Faktor Keberhasilan Indonesia Mengelola Sukuk

BI Beberkan 3 Faktor Keberhasilan Indonesia Mengelola Sukuk

Whats New
Pertemuan Tingkat Menteri OECD Dimulai, Menko Airlangga Bertemu Sekjen Cormann

Pertemuan Tingkat Menteri OECD Dimulai, Menko Airlangga Bertemu Sekjen Cormann

Whats New
Induk Usaha Blibli Cetak Pendapatan Bersih Rp 3,9 Triliun pada Kuartal I 2024

Induk Usaha Blibli Cetak Pendapatan Bersih Rp 3,9 Triliun pada Kuartal I 2024

Whats New
Kembali ke Aturan Semula, Barang Bawaan dari Luar Negeri Tak Lagi Dibatasi

Kembali ke Aturan Semula, Barang Bawaan dari Luar Negeri Tak Lagi Dibatasi

Whats New
Cek Tagihan Listrik secara Online, Ini Caranya

Cek Tagihan Listrik secara Online, Ini Caranya

Work Smart
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com