Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Dr. Ir. Muhrizal Sarwani, M.Sc.
Analis Kebijakan Utama Kementan

Analis Kebijakan Utama Kementerian Pertanian

Sawah Rawa Pasang Surut

Kompas.com - 17/04/2023, 15:44 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

Tahun 1940, jalan penghubung Banjarmasin-Martapura dibangun di atas lahan rawa. Banjarmasin-Martapura awalnya hanya dapat ditempuh melalui sungai.

Anjir dan jalan memicu pengembangan rawa pasang surut secara mandiri oleh masyarakat Banjar di Kalimantan.

Catatan yang disampaikan oleh Schophuys (1969), seorang insinyur Belanda yang menjadi WNI yang tinggal dan mendalami tentang rawa di Kalimantan, bahwa pada 1965, hampir 65.000 ha lahan rawa disepanjang jalan Banjarmasin-Martapura maupun Anjir Serapat, telah direklamasi oleh para petani Banjar yang berasal dari daerah Hulu Sungai Kalimantan Selatan.

Collier (1984) menuliskan bahwa etnis Banjar bersama dengan etnis Bugis membuka secara mandiri rawa pasang surut di pesisir Kalimantan Tengah, pantai timur Sumatera bahkan pesisir Malaysia.

Kota-kota kecamatan seperti Tamban, Gambut di Kalimantan bahkan Tembilahan dan Kuala Tungkal di Sumatera merupakan lokasi-lokasi yang berkembang dari pembukaan rawa secara mandiri.

Tanah rawa yang dijadikan sawah di Vietnam dan Thailand serupa dengan yang di Indonesia. Juga serupa dengan yang ada di Belanda.

Belanda butuh waktu 400 tahun, Vietnam dan Thailand hampir 100 tahun untuk berhasil menjadikan tanah rawa tersebut produktif.

Indonesia membuat produktif kurang dari 100 tahun. Bedanya adalah fokus dan komitmen untuk mempertahankan sawah pasang surut tersebut.

Kawasan Herlemmermeer tetap menjadi kawasan pertanian dengan pengaturan water table yang cukup tinggi hampir dekat permukaan.

Delta Mekong dan Delta Chao Phraya juga menjadi kawasan padi dan kombinasi dengan aquaculture dengan sistem tata air yang sebagian dibantu penggunaan pompa-pompa kecil (yang juga berfungsi jadi mesin perahu kecil) untuk menaikkan air ke lahan.

Sawah pasang surut mereka malah semakin produktif dengan kebijakan yang positif. Kedua negara tetangga pengekspor beras ini bahkan berisiatif menambah luas sawah mereka. Thailand merencanakan tambahan luas sawah 500.000 ha dari 9,2 juta ha yang sudah ada.

Sawah rawa pasang surut kita dengan sistem tata air sistem garpu di Kalimantan dan sistem sirip ikan di Sumatera yang dirancang masing-masing oleh UGM dan ITB telah berhasil menjadikan kawasan-kawasan rawa pasang surut seperti di Delta Telang, Sumsel maupun daerah Terantang di Kalimantan Selatan cukup produktif menyuplai tidak hanya beras tetapi juga jeruk siam.

Alih fungsi lahan

Namun kawasan-kawasan sawah rawa pasang surut yang direklamasi pada masa 1970-1980-an tersebut sekarang harus bersiap menghadapi tantangan yang lebih menakutkan dibandingkan tantangan yang pernah dihadapi para Profesor dan akademisi UGM dan IPB/ITB: alih fungsi lahan sawah.

Para Profesor saat itu menggunakan otaknya untuk menyelesaikan masalah yang dijumpai di lapangan, tetapi hantu alih fungsi hanya dapat diselesaikan dengan komitmen dan kebijakan pemimpin.

Data yang disampaikan Ditjen Prasarana dan Sarana Pertanian, Kementan menunjukkan bahwa alih fungsi sawah terbesar di Sumatera dan Kalimantan adalah ke perkebunan kelapa sawit.

Alih fungsi sawah 2013-2019 dilakukan dengan overlay luas baku sawah 2013-2019 dengan citra satelit (CSRT) 2019/2020.

Di Sumatera sawah yang beralih fungsi sekitar 401.706 ha di mana 74 persen beralih ke perkebunan kelapa sawit.

Sementara di kalimantan ada sekitar 121.957 ha yang beralih fungsi. Provinsi Sumatera Selatan menyumbang alih fungsi terbesar, yaitu 124.056 ha.

Ada baiknya diingatkan kembali kepada pemerintah dan semua kita agar tidak lupa dengan pidato Bung Karno, presiden pertama kita, pada saat peletakan batu pertama Gedung Fakultas Pertanian UI – yang kemudian menjadi IPB - di Baranangsiang Bogor tanggal 27 April 1952: “Soal persediaan makanan rakyat adalah soal hidup atau mati”.

Bahkan diulangi dan ditekankan lagi dengan kalimat: “Camkan, sekali lagi camkan, kalau kita tidak tanggulangi soal makanan rakyat ini secara besar-besaran, radikal dan revolusioner, maka kita akan mengalami malapetaka”.

Bung Karno meletakkan dasar berupa politik pangan dan pendidikan tinggi pertanian di Indonesia dan sempat menyiapkan beberapa infrastruktur pertanian, meskipun kemudian karena situasi politik yang tidak kunjung reda menyebabkan apa yang beliau sebut ‘malapetaka’ benar terjadi.

Pak Harto, presiden kedua kita, mencetuskan Pelita pada 1969, yang merupakan cikal bakal pembangunan infrastruktur pertanian yang monumental bagi Indonesia.

Melalui kerja radikal dan besar-besaran serta revolusioner untuk menanggulangi masalah pangan rakyat, menghasilkan sawah rawa pasang surut di Kalimantan dan Sumatera dan tentunya banyak bendungan untuk fasilitas irigasi khususnya di Jawa.

Legacy dari Presiden Pertama kita yang meletakkan dasar Pendidikan Pertanian dan politik pertanian lalu dilanjutkan oleh Presiden Kedua kita dengan Pembangunan Infrastruktur pertanian berupa pencetakan sawah besar-besaran di lahan rawa, tidak cukup hanya tonggak untuk dikenang, tetapi harus menjadi acuan bagi pemimipin negeri ini membangun ketahanan pangan yang berkesinambungan.

 

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com