Karena itu, penikmat "added value" lebih banyak adalah perusahaan-perusahaan asing ini, yang bekerja sama dengan komprador-komprador nasional. Akibatnya yang terjadi ternyata adalah ketidakadilan baru di lapangan.
Dengan kata lain, niat baik terkait pembentukan ekosistem dan penambahan nilai komoditas sebagaimana diceritakan Jokowi, terjadi tapi penikmatnya bukan mayoritas pengusaha nasional alias salah sasaran.
Hal ini berjalinkelindan dengan ketidakjelasan posisi pengambil kebijakan dan objek kebijakan, karena beberapa pejabat tinggi negara justru disinyalir menjadi bagian komersial dari ekosistem yang ingin dibangun oleh Jokowi.
Walhasil, posisi regulator dan pelaku usaha menjadi tidak berbatas. Kondisi inilah yang membuat publik melihat kebijakan subsidi untuk kendaraan listrik sebagai kebijakan yang aneh, karena sebagian pihak yang berkapasitas sebagai regulator juga sekaligus berkapasitas sebagai pelaku usaha yang ikut menikmati kebijakan dari regulator tersebut.
Nah, hal inilah yang harus dihindari oleh pemerintah di saat berencana melarang ekspor komoditas pasir silika.
Posisi pelaku tambang dan pelaku industri komoditas pasir silika harus dibuat adil dan berimbang terlebih dahulu, sebelum dipaksa untuk berhenti melakukan ekspor.
Dengan lain perkataan, pengalaman di Sulawesi dengan komoditas nikel harus dijadikan pelajaran berharga untuk tidak lagi terjebak ke dalam lubang yang sama.
Jika pemerintah memaksakan pelarangan ekspor pasir silika, maka otomatis penambang akan kehilangan pasar internasional. Risiko lanjutannya, para penambang akan kehilangan kesempatan untuk mengakumulasi modal untuk dijadikan landasan finansial membangun industrinya sendiri.
Di sisi lain, dengan mengecilnya peluang penambang membangun industrinya sendiri, karena kesempatan untuk mendapatkan cuan dari pasar internasional hilang, maka otomatis ruang kosong tersebut akan diisi oleh investor dan perusahaan asing, sebagaimana yang terjadi pada komoditas nikel di Sulawesi.
Untuk itu, diperlukan "rentang waktu" bagi penambang domestik dan pelaku industri dalam negeri untuk menyiapkan ekosistem pasir silika, sebelum benar-benar dilarang diekspor.
Dengan kata lain, pemerintah tak bisa "ujuk-ujuk" melarang ekspor komoditas pasir silika dan kuarsa, sementara tidak ada upaya untuk membuat "level playing field" di level industrinya di satu sisi dan menyiapkan mekanisme penggantian "opportunity lost" yang akan dialami oleh para penambang karena kehilangan pasar internasional.
Artinya, pemerintah harus benar-benar memberdayakan dan menguatkan posisi penambang di satu sisi, dengan memberikan berbagai kemudahan regulasi dan berbagai insentif agar bisa berproduksi secara maksimal dan efisien terlebih dahulu.
Pun pemerintah perlu memberi para penambang kesempatan untuk melakukan akumulasi kapital domestik dari aktifitas ekspor ke pasar global dalam jangka waktu tertentu, sebelum benar-benar melarangnya, lalu memberikan ruang pembiayaan yang fleksibel dengan berbagai kebijakan "financing engineering" dan "financial repression".
Tujuannya untuk memberdayakan penambang di satu sisi dan meningkatkan kapasitas mereka untuk berekspansi dari penambang menjadi pemain industri sekaligus di sisi lain, agar tidak terjadi relasi yang tidak adil antara para penambang dan para pengolah (industri).
Prinsip ini juga berlaku bagi komoditas pasir silika yang tidak diperuntukan bagi EV. Sebagaimana diketahui, pasir silika bukan saja terkait dengan "microchip" kendaraan listrik, tapi juga terkait dengan banyak produk turunannya, salah satunya sebagai bahan baku inti pembuatan kaca yang menjadi komponen utama panel surya.
Jadi sangat bisa dipahami mengapa dalam enam bulan hingga satu tahun terakhir, permintaan pasir silika dari China ke Indonesia naik cukup tajam.
Ini bukan saja terjadi di Indonesia, tapi juga di seluruh dunia. Pasalnya, selain produsen kendaraan listrik, China adalah produsen terbesar panel surya di dunia, bahkan menguasai sekitar 80 persen produksi panel surya dunia.
Pendeknya, apapun produk bernilai tambah yang akan digapai oleh pemerintah dari komoditas pasir silika haruslah mempertimbangkan distribusi manfaat yang adil antara penambang dan dunia industri di satu sisi dan antara pelaku usaha domestik dan pelaku usaha asing di sisi lain.
Pun yang tak kalah penting adalah memastikan bahwa kebijakan-kebijakan yang diambil tidak menjadi instrumen manipulatif bagi segerombolan "oligar" domestik dan "komprador-komprador" penjilat investor asing untuk mengeksploitasi sumber daya alam (SDA) nasional atas nama kepentingan dangkal mereka sendiri, tapi berlindung di balik narasi "peningkatan nilai tambah" dan narasi pembangunan ekosistem energi berkelanjutan.
Selain itu, ada beberapa hal lainnya yang perlu dipertimbangkan pemerintah.