Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Pramono Dwi Susetyo
Pensiunan

Pemerhati masalah kehutanan; penulis buku

Tambang Nikel dan Dampak Deforestasi

Kompas.com - 17/07/2023, 16:00 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

Deforestasi akibat pertambangan nikel ini paling besar terjadi pada 2012 dengan luas 4000 hektar. Deforestasi terjadi di berbagai wilayah, antara lain Maluku Utara, Papua Barat, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tengah, dan Sulawesi Tenggara.

Ekspansi ini menimbulkan kekhawatiran terkait kondisi hutan alam yang terdapat di dalam konsesi pertambangan nikel seluas 560.000 hektar.

Wilayah hutan alam dalam konsesi nikel terbesar berada di Sulawesi Tengah, yakni lebih dari 200.000 hektar.

Dalam “The State of Indonesia’s Forest (SOFO) 2020” yang terbit Desember 2020, luas hutan Indonesia menyusut tinggal 120,3 juta hektar, yang terdiri dari 22,9 juta hektar hutan konservasi, 29,6 juta hektar hutan lindung, 26,8 juta hektar hutan produksi terbatas, 29,2 juta hektar hutan produksi biasa, dan 12,8 juta hektar hutan produksi yang dapat dikonversi.

Dari luas 120,3 juta hektar tersebut, yang tidak mempunyai tutupan hutannya (non forested) seluas 33,4 juta hektar yang terdiri dari hutan konservasi 4,5 juta hektar, hutan lindung 5,6 juta hektar, dan hutan produksi 23,3 juta hektar.

Nah, konsesi pertambangan yang telah hilang tutupan hutannya seluas 24.811 hektar masuk dalam kawasan hutan seluas 33,4 juta hektar yang terbuka (tidak berhutan), khususnya di wilayah hutan lindung dan hutan produksi.

Kekhawtiran akan meluasnya deforestasi akibat dari dampak peningkatan izin pertambangan, khususnya pertambangan nikel sebenarnya telah diantipasi oleh pemerintah melalui regulasi terbaru turunan dari UU No. 11/2020 tentang Cipta Kerja bidang kehutanan, yakni PP No. 23/2021 tentang penyelenggaraan kehutanan.

Dalam PP ini Pasal 4i disebutkan bahwa Menteri LHK menetapkan dan mempertahankan kecukupan luas kawasan hutan dan penutupan hutan berdasarkan kondisi fisik dan geografis pada luas DAS, pulau, dan/atau provinsi dengan sebaran yang proporsional.

Artinya, seluruh kawasan di Indonesia dibagi berdasarkan wilayah DAS/pulau/provinsi, kemudian dihitung satu per satu luas kecukupan hutan dan tutupan hutannya oleh KLHK dan ditetapkan dalam surat keputusan oleh Menteri LHK.

Jadi izin pinjam pakai kawasan hutan untuk kegiatan pertambangan dan kegiatan nonkehutanan lainnya, pengendalian tutupan hutan alamnya dapat dipantau dan dikendalikan dari penetapan luas kecukupan hutan dan tutupan hutannya yang diterbitkan Menteri LHK bagi masing-masing provinsi.

Sayangnya hingga hari ini, KLHK belum ada tanda-tanda menerbitkan surat keputusan penetapan yang dimaksud.

Kapan perhitungan kecukupan luas hutan dan tutupan hutan akan diselesaikan oleh KLHK, khususnya untuk daerah yang membutuhkan penggunaan dan pemanfaatan kawasan hutan untuk pembangunan seperti di P. Jawa dan Pulau Sumatera?

Apalagi sejak adanya akses jalan tol di Sumatera dan Jawa akan membuka pertumbuhan ekonomi kawasan di sekitarnya.

Dari data yang ada, wilayah Indonesia terdiri dari 458 daerah aliran sungai (DAS) yang tersebar di seluruh Indonesia.

Dari jumlah tersebut, 60 DAS di antaranya dalam kondisi kritis berat, 222 termasuk kategori DAS kritis dan 176 DAS lainnya berpotensi kritis akibat alih fungsi lahan yang membuat penyangga lingkungan itu, tidak berfungsi optimal.

Sedangkan jumlah provinsi di Indonesia sebanyak 34 daerah provinsi dan jumlah pulau dengan ukuran sedang hingga kecil sebanyak kurang lebih 13.466 pulau selain lima pulau besar, yakni Sumatera, Jawa, Kalimantan, Sulawesi dan Papua.

Mampukah pemerintah dalam hal ini KLHK, menghitung luas kecukupan hutan dan tutupan hutan pada 60 DAS kritis berat dan 222 DAS kritis serta 34 daerah provinsi dengan beberapa pulaunya yang dianggap penting, dalam tempo dan waktu yang sesingkat-singkatnya untuk mendukung UU Cipta Kerja dalam menarik investasi dan menciptakan lapangan kerja sebesar-besarnya?

Ketentuan Teknis Pertambangan Dalam Kawasan Hutan PP no. 23/2021 juga mengatur persyaratan teknis pertambangan dalam kawasan hutan produksi dengan ketentuan : a) penambangan dengan pola pertambangan terbuka; dan/atau b) penambangan dengan pola pertambangan bawah tanah.

Sedang untuk kawasan hutan lindung hanya dapat dilakukan penambangan dengan pola pertambangan bawah tanah dengan ketentuan dilarang mengakibatkan: a) turunnya permukaan tanah; b) berubahnya fungsi pokok kawasan hutan secara permanen; dan/atau c) terjadinya kerusakan akuifer air tanah.

Persetujuan penggunaan kawasan hutan untuk kegiatan non ehutanan termasuk pertambangan dapat dilakukan pada provinsi yang terlampaui kecukupan luas kawasan hutannya; dan/atau pada provinsi yang kurang kecukupan luas kawasan hutannya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com