Potensi sumber energi terbarukan nonsurya lainnya (panas bumi, air, arus laut, angin, biomas) akan memenuhi sekitar 1000 TWh. Selebihnya akan bergantung dari energi surya yang saat ini telah menjadi yang paling murah sepanjang sejarah.
Hanya dengan memanfaatkan 10 persen saja dari potensi PLTS terapung (3500 TWh), maka total kebutuhan listrik net zero emission dapat dicukupi. Dalam konteks jumlah energi yang dibutuhkan, tidak ada keraguan.
Skenario pasokan 100 persen energi terbarukan bukan lagi mimpi semata. Pada skenario ini, porsi bauran energi surya atau angin akan dominan dalam produksi listrik Indonesia, tantangan intermitensi membutuhkan solusi.
Semua kita mengetahui bahwa energi surya atau angin tidak tersedia 24 jam. Ada saatnya matahari bersinar cerah atau angin bertiup kencang.
Ada pula saat cuaca buruk, hujan turun berhari-hari, atau awan yang pekat di langit menutupi panel surya dari paparan sinar matahari. Kondisi cuaca seperti ini bukan hal baru, sudah terjadi sejak bumi diciptakan.
Tantangan intermitensi sebetulnya bisa ditangani dengan flexible power generation. Misalnya menggunakan genset, pembangkit gas yang dicadangkan untuk dapat dinyalakan sewaktu-waktu dibutuhkan.
Namun biayanya mahal, selain itu masih berbahan bakar fosil dan mengemisikan karbon. Dengan demikian, butuh solusi lain yang lebih ekonomis dan ramah lingkungan.
Teknologi penyimpanan energi menjadi solusi. Kelebihan produksi listrik saat siang hari, matahari bersinar cerah, angin bertiup, harus ‘ditabung’ untuk digunakan pada malam hari atau pada saat produksi listrik dari panel surya dan turbin angin berhenti.
Terdapat beragam teknologi penyimpan energi, namun hanya dua yang paling populer. Baterai dan PLTA pumped hydro storage.
Baterai sangat familiar dengan kehidupan sehari-hari. Perangkat elektronik seperti jam, smartphone, laptop, dan sebagainya menggunakan baterai sebagai sumber listriknya. Prinsip yang sama juga dapat diterapkan di jaringan listrik.
Battery energy storage sytem (BESS) difungsikan menjadi penyimpan energi saat ada kelebihan produksi listrik dari panel surya atau pembangkit tenaga angin.
Namun, kapasitas baterai tidak memungkinkan menyimpan energi dalam skala besar secara aman. Baterai lebih cocok digunakan untuk memasok kebutuhan singkat pada orde detik hingga jam.
PLTA pumped hydro storage satu-satunya opsi yang paling ekonomis untuk menyimpan energi dalam jumlah besar. Cadangan untuk kebutuhan lebih dari 8 jam, 1 hari atau 1 minggu.
Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) teknologi pumped storage (PLTA pumped hydro storage) adalah teknologi penyimpanan energi tertua dan paling banyak proporsinya hingga kini.
Pumped hydro storage mendominasi teknologi penyimpan energi di seluruh dunia. Sebanyak 96 persen dari 176 GW penyimpanan energi secara global pada 2017 adalah PLTA PHS.
Pumped storage hydropower adalah teknologi baterai terbesar di dunia, terhitung lebih dari 94 persen kapasitas penyimpanan energi global terpasang, jauh di atas lithium-ion dan jenis baterai lainnya.
International Hydropower Association (2022) memperkirakan bahwa proyek hidro yang dipompa di seluruh dunia menyimpan hingga 9.000 gigawatt jam (GWh) listrik.
Baterai (BESS) dan PLTA pumped hydro storage bukan lah teknologi yang saling berkompetisi. Keduanya dapat dioperasikan dengan prinsip saling melengkapi.
Misalnya, saat terjadi kekurangan pasok dari panel surya karena tutupan awan, baterai dapat merespons dengan cepat.