BELAKANGAN isu pelepasan kawasan hutan menjadi sorotan setelah Menteri Koordiantor Bidang Maritim dan Investasi Luhut B. Pandjaitan selaku Ketua Pengarah Satuan Tugas Peningkatan Tata Kelola Industri Kelapa Sawit dan Optimalisasi Penerimaan Negara, merencanakan “memutihkan” perkebunan sawit ilegal yang terlanjur masuk hutan seluas 3,3 juta hektare.
Konotasi yang dimaksud dengan pemutihan kebun sawit adalah melegalkan kebun sawit tersebut melalui proses pelepasan kawasan hutan.
Lalu apa sebenarnya yang dimaksud dengan pelepasan kawasan hutan itu? Bagaimana prosesnya dan mekanismenya? Apa dasar hukumnya? Berapa lama waktunya?
Salah satu hal yang tidak dapat dihindari dalam pengurusan kawasan hutan akibat dari tuntutan kemajuan zaman dan kegiatan pembangunan adalah adanya perubahan peruntukan kawasan hutan.
Perubahan peruntukan kawasan hutan diartikan sebagai perubahan kawasan hutan menjadi bukan kawasan hutan.
Perubahan peruntukan kawasan hutan secara parsial untuk kepentingan pembangunan di luar kegiatan kehutanan dilakukan melalui persetujuan pelepasan kawasan hutan.
Pelepasan kawasan hutan adalah perubahan peruntukan kawasan hutan produksi konversi (HPK) dan/atau hutan produksi tetap (HPT) menjadi bukan kawasan hutan.
Persetujuan pelepasan kawasan hutan diberikan untuk kegiatan berusaha dan nonberusaha. Salah satu kepentingan pembangunan di luar kegiatan kehutanan yang membutuhkan lahan luas adalah kegiatan perkebunan, baik untuk kelapa sawit, tebu dan perkebunan lainnya.
Usaha perkebunan tersebut membutuhkan lahan kawasan hutan mencapai 100.000 – 125.000 hektare untuk satu perusahaan atau grup perusahaan dalam satu provinsi.
Pelepasan kawasan hutan yang dikonversi untuk perkebunan diatur mekanismenya oleh Peraturan pemerintah (PP) No. 104/2015 tentang Tata Cara Perubahan Peruntukan dan Fungsi Kawasan Hutan.
Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.