Akibatnya, negara melalui Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS) menerima pendapatan pungutan ekspor sebesar Rp 182 triliun.
Sekitar Rp 152 triliun dari dana tersebut dipakai untuk menjaga keberlanjutan kelapa sawit nasional melalui program peremajaan sawit rakyat, peningkatan kualitas SDM, riset dan pengembangan sawit, advokasi dan kampanye positif sawit, serta peningkatan sarana dan prasarana termasuk insentif mandatory biodiesel.
Berdasarkan data Badan Kebijakan Fiskal tahun 2019 dan 2022, diketahui industri kelapa sawit berkontribusi sebesar 3,5 persen terhadap PDB nasional.
Secara bertahap, pemerintah juga terus memberlakukan program hilirisasi pada industri berbasis bahan tambang dan mineral.
Cara yang ditempuh antara lain: melakukan pembangunan smelter dan penghentian ekspor bahan tambang mentah dimulai dari nikel, bauksit, timah, hingga alumina.
Program hilirisasi yang paling menonjol di sektor industri adalah hilirisasi nikel. Data Kementerian ESDM tahun 2020 menunjukkan total sumber daya bijih nikel Indonesia mencapai 8,26 miliar ton, cadangan bijih nikel mencapai 3,65 miliar ton.
Umur cadangan bijih nikel Indonesia disebutkan bisa mencapai 73 tahun, untuk jenis bijih nikel kadar rendah di bawah 1,5 persen (limonite nickel).
Asumsi umur cadangan tersebut berasal dari jumlah cadangan bijih nikel limonit mencapai 1,7 miliar ton dan kebutuhan kapasitas pengolahan (smelter) di dalam negeri sebesar 24 juta ton per tahun.
Hingga akhir 2022 lalu, hilirisasi di sektor ini telah menghasilkan sebanyak 27 smelter yang telah beroperasi meliputi pyrometallurgy dan hydrometallurgy nikel, 32 yang dalam tahap konstruksi, dan enam masih tahap feasibility study. Diperkirakan jumlah smelter akan mencapai 136 pada 2025.
Dari aspek konsumsi, program hilirisasi juga membuat kebutuhan konsumsi bijih nikel domestik melonjak, diperkirakan mencapai 145 juta ton pada 2023 dan menembus 400 juta ton pada 2025.
Setelah sempat melonggarkan ekspor bijih nikel kadar rendah pada 2017, larangan secara penuh kembali diterapkan pada Januari 2020.
Semenjak itu pendapatan ekspor nikel melesat tinggi, dari kisaran 3,3 miliar dolar AS pada 2019, menjadi 20,9 miliar dolar AS pada 2021, dan menembus 33 miliar dolar AS pada 2022.
International Monetary Fund (IMF) dalam IMF Country Report No. 23/221 yang dirilis 25 Juni 2023, menyebutkan bahwa sejak larangan ekspor bijih nikel mentah diberlakukan, investasi asing langsung ke Indonesia secara keseluruhan berjalan baik.
Realisasi investasi asing di Indonesia meningkat 47 persen pada 2022, dipimpin sektor-sektor yang terkait dengan hilirisasi, dengan hampir setengah dari peningkatan tersebut berasal dari investasi Tiongkok dan Hong Kong.
Realisasi investasi smelter nikel dan bauksit selama 2021-2022 masing-masing telah mencapai 5,5 miliar dolar AS dan 3 miliar dollar AS.
Praktik hilirisasi industri nikel tidak hanya pada pembangungan smelter dan peningkatan kualitas produk feronikel dan nikel matte, tetapi juga memproduksi produk stainless steel.
Bahkan, saat ini PT. Indonesia Morowali Industrial Park (IMIP) mengembangkan empat klaster produk mulai Nickel Pig Iron (NPI), Carbon Steel, Stainless Steel, hingga Bahan Baku Pendukungan Battery Kendaraan Listrik.
Disebutkan saat ini PT IMIP di Sulawesi Tengah menyerap 74.700 orang, dan PT Indonesia Weda Bay Industrial Park (IWIP) di Maluku Utara menyerap sekitar 56.000 orang.
Belum termasuk jumlah tenaga kerja yang diserap oleh VDNI (Virtue Dragon Nickel Industry), Gunbuster, dan Pulau Obi. Jumlah tenaga kerja lokal rata-rata mencapai 85-90 persen dari total tenaga kerja.
Data di atas membuktikan bahwa Indonesia mendapatkan nilai tambah yang sangat besar dari hilirisasi nikel sejak 2020 lalu.