Tidak diperlukan prosedur resmi yang berbelit-belit untuk ikut berpartisipasi. Sehingga, layaknya Pinjol dan Paylater, Gen Z lagi-lagi menjadi target empuk sebagai pasar utama, tanpa mendapatkan detail risiko secara mendalam terlebih dahulu.
Meskipun mudah, masalahnya cryptocurrency adalah investasi yang sangat berisiko, jauh melebihi risiko instrumen investasi finansial konvensional lainnya, seperti saham atau Reksadana.
Pasalnya, cryptocurrency tidak memiliki landasan fundamental bisnis yang menjadi basis utama fluktuasi harganya, sehingga lebih sering dijadikan instrumen oleh oknum-oknum pemilik perusahaan cryto untuk mengelabui dana nasabahnya, ketimbang sebagai instrumen untuk mendatangkan keuntungan.
Dengan kata lain, crypto pada akhirnya lebih mirip "judi online" ketimbang investasi untuk mendapatkan keutungan. Risiko lanjutannya tentu sudah bisa diprediksi.
Jika Gen Z mengalami situasi "apes" akibat investasi crypto, di saat pendapatan mereka tak mampu menutupinya, maka pinjaman online akan kembali menjadi solusi cepat untuk menutupnya.
Terakhir, yang juga tak kalah patologisnya, adalah tingkat keterlibatan Gen Z dalam aktifitas prostitusi online.
Lagi-lagi instrumen intermediasinya adalah aplikasi yang memang diperuntukkan untuk ponsel, yakni aplikasi "chatting" Michat, yang sudah sering kali menjadi aplikasi perantara prostitusi online yang dibongkar oleh aparat kepolisian selama ini.
Berdasarkan data SimilarWeb, secara global situs MiChat telah berhasil menarik 114.300 kunjungan pada Oktober 2022. Namun mayoritas pengunjung MiChat berasal dari kelompok usia 18-24 tahun alias Gen Z, dengan persentase sebesar 37 persenan.
Namun celakanya, menurut SimilarWeb, Indonesia menempati peringkat teratas sebagai negara pengguna MiChat terbesar secara global, yakni 83,37 persen, selain Perancis (5,96 persen), Argentina (4,25 persen), Malaysia (2,52 persen), dan Amerika Serikat (2,19 persen). Artinya, supermayoritas pengguna MiChat justru ada di Indonesia.
Alasan primer prostitusi online, terutama dari segmen Gen Z, tak lain adalah keuangan. Hasrat ingin memiliki berbagai macam barang sebagai perlambang kehidupan modern menjadi "driver" utamanya, mulai dari kepemilikan gadget, fashion, sampai keinginan untuk travelling ke berbagai lokasi yang viral di media sosial.
Keinginan untuk mendapatkan uang dengan cara cepat ini tidak berbeda dengan keputusan Gen Z untuk ikut berinvestasi di instrumen cryptocurrency, yang juga menjanjikan keuntungan tinggi dan cepat, tapi melupakan risiko yang juga tinggi.
Pun menjadi alasan yang melatari keputusan mereka dalam meminjam uang kepada platform-platform Pinjol, yakni mendapatkan uang cepat, tapi soal pelunasan urusan belakangan.
Pendeknya, berbagai dinamika patologis di atas harus dicarikan solusinya segera, agar tidak merusak masa depan mayoritas Gen Z, generasi yang akan mewarisi negeri ini di puncak keemasannya tahun 2030-2045.
Kerja sama antarinstitusi yang digawangi keluarga, institusi pendidikan, institusi keagamaan, dan lembaga-lembaga pemerintah terkait sangatlah diperlukan dan mendesak untuk meminimalisasi patologi-patologi di atas, mulai dari soal Pinjol, Crypto, dan prostitusi online yang menerpa Gen Z.
Literasi keuangan untuk generasi muda harus dimulai dari rumah, disisipkan di sekolah, dan disosialisasikan secara masif oleh Kemenkominfo, OJK, dan lembaga terkait.