Ekonom sekaligus Direktur Center of Economics and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira, menyebut untuk merealisasikan wacana menyambung Jakarta-Surabaya dengan kereta peluru bakal sangat sulit dilakukan.
Belum lagi, sejauh ini belum pasti bagaimana potensi penumpang KCJB yang nanti berpengaruh pada perkiraan balik modal, mengingat KCJB memiliki kekurangan, yakni jalur kereta tidak berhenti di Kota Bandung yang merupakan kantong penumpang terbesar.
"Jelas berat meneruskan pembangunan Kereta Cepat Jakarta Surabaya. Secara komersial pengembalian modalnya sangat lama, sementara ketika APBN terlibat ruang fiskal sudah sempit," beber Bhima.
Baca juga: Saat Ahok Kurang Setuju Stasiun Kereta Cepat Ada di Halim
Selain itu, hal yang harus diperhatikan, pengerjaan proyek KCJB juga sangat didominasi perusahaan dan tenaga kerja asal China.
Dominasi China juga sangat tampak dari perusahaan kontraktor penggarap engineering procurement construction (EPC) proyek ini.
Di mana perusahaan BUMN China mendominasi sebesar 70 persen dari total EPC di proyek pembangunan KCJB. Pihak Indonesia kebagian sebesar 30 persen EPC yang digarap PT Wijaya Karya (Persero) Tbk atau Wika.
Total ada 6 perusahaan China yang menjadi kontraktor utama antara lain Sinohydro, China Railway International (CRIC), dan China Railway Engineering Corporation (CREC).
Berikutnya CRRC Corporation Limited, China Railway Signal and Communication (CRCR), dan China Railway Design Corporation (CRDC).
"Pertimbangan selain penambahan utang adalah beban impor teknologi, besi baja, dan tenaga kerja akan melemahkan nilai tukar rupiah," ungkap Bhima.
Baca juga: Pernah Dilawan Jonan, Konsesi KCJB Kini Malah Diizinkan Jadi 80 Tahun
(Penulis: Isna Rifka | Editor: Aprillia Ika)
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.