Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Dr. Eng. IB Ilham Malik
Dosen Prodi Perencanaan Wilayah & Kota ITERA

Ketua Prodi Perencanaan Wilayah dan Kota ITERA. Wakil Ketua Umum Masyarakat Transportasi Indonesia (MTI) Pusat Bidang Kajian Kebijakan Transportasi

Truk ODOL: Dibenci, tapi Juga Disayang

Kompas.com - 16/11/2023, 10:02 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

KENDARAAN berukuran melebihi batas dan beban berlebih sudah menjadi masalah lama bangsa kita.

Bagi pihak yang terdampak, sudut pandangnya adalah memberantas kendaraan obesitas ini. Sementara bagi pelaku, ODOL adalah keniscayaan sebagai konsekuensi dan tuntutan “pasar” yang ingin ongkos transportasi murah dan harga jual produk yang diangkut kompetitif.

Melihat fenomena ini, apa yang bisa dilakukan oleh para ahli kebijakan transportasi?

Melihat banyaknya kerusakan jalan, kemacetan lalu lintas, dan kecelakaan yang melibatkan/disebabkan oleh ODOL, kita secara singkat akan mengatakan bahwa penertiban (yang berujung pada hilangnya ODOL) adalah kebijakan yang harus segera diambil oleh pemerintah.

Apalagi, dampak negatif adanya ODOL tidak mampu ditangani oleh pemerintah. Misalnya, jalan rusak akibat beban berlebih perlu segera ditangani secara berkala sehingga tidak menimbulkan keresahan dan gangguan pada kinerja jalan, termasuk tidak menimbulkan kecelakaan pada kendaraan lainnya (biasanya kendaraan pribadi mobil dan sepeda motor).

Lalu, kemacetan lalu lintas akibat ODOL memakan badan jalan melebihi dimensinya sehingga kapasitas jalan berubah. Ditambah kecepatan kendaraan di bawah standar yang menimbulkan antrean kendaraan di belakangnya.

Apalagi jika truk ODOL tersebut berjalan beriringan yang menyulitkan kendaraan lainnya untuk mendahului.

Pada isu ini, penertiban pada antrean panjang truk ODOL tidak dilakukan, pelebaran jalan pada ruas yang padat oleh truk ODOL juga tidak kunjung dilakukan, serta hal lainnya.

Rangkaian hal ini yang menyebabkan persoalan truk ODOL terus muncul. Sebab, penanganan dampaknya tidak dilakukan segera.

Di sisi lain, truk obersitas juga tidak kunjung ditertibkan. Ada banyak kelindan persoalan lain di dalamnya yang belum disentuh pemerintah.

Soal truk ODOL ini, sudah ada target zero ODOL di Indonesia pada 1 Januari 2023 lalu.

Berbagai pihak, terutama BUJT (badan usaha jalan tol) atas arahan dan target dari BPJT sudah menyiapkan diri untuk menihilkan truk ODOL di jalan tol. Hal yang sama dilakukan oleh ASDP serta pihak lainnya.

Sayangnya, target tersebut tidak terlaksana. Bahkan mundur hingga hampir 1 tahun ini (sepanjang 2023).

Diperkirakan, kebijakan zero ODOL juga belum akan bisa dilaksanakan pada 2024. Hal ini menandakan masyarakat harus memaklumi dan menyiapkan diri ketika ada dampak dari truk ODOL yang masih akan berlangsung beberapa waktu ke depan.

Sementara di sisi pelaku ODOL, mereka menyiapkan kendaraannya menjadi truk ODOL karena permintaan pemilik barang untuk mengangkut barang berskala besar dan melebihi kapasitas truk.

Ketika ada perusahaan angkutan menolak mengangkut barang melebihi kapasitas, maka pemilik barang akan mencari perusahaan angkutan logistik lainnya yang mau mengangkut barang berlebih.

Akibatnya, pangsa pasar kendaraan tertib dimensi dan tertib berat muatan menjadi turun. Bagi bisnis angkutan, hal ini tentu kurang bagus.

Dengan demikian, penertiban ODOL bukan dilakukan di jalanan. Penetibannya bisa jadi harus dilakukan ke pemilik barang.

Pasalnya, mereka sebagai produsen barang, menerapkan standar berlebih yang menyebabkan perusahaan angkutan logistik berada dalam posisi dilema.

Artinya, Kementerian Perdagangan harus turun tangan dengan membawa kementerian terkait untuk menertibkan pengusaha yang menyebabkan truk menjadi obesitas.

Sayangnya, industri otomotif ikut-ikutan obesitas. Sasis bertambah panjang dan kuat, baik di pabrikan maupun karoseri. Hal ini terjadi karena ada persaingan antara produsen otomotif satu dengan lainnya.

Tentu saja, perusahaan otomotif harus mengisi ceruk pasar. Ketika ada permintaan kendaraan dengan dimensi besar, tinggi, memiliki power, dan sasisnya siap untuk dibuat obesitas, maka kendaraan seperti itu yang disiapkan.

Sektor ekonomi juga menuntut biaya logistik murah agar barang menjadi murah. Semakin banyak barang yang diangkut, maka biaya di transportasi akan menurun.

Dampaknya pada harga barang menjadi “murah”. Walaupun pandangan ini menjadi perdebatan, apakah benar truk obesitas menekan harga barang?

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com