Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Cucun Ahmad Syamsurijal
Wakil Ketua Badan Anggaran DPR RI

Wakil Ketua Badan Anggaran DPR RI

Serius Membantu Usaha Generasi Milenial dan Z

Kompas.com - 12/12/2023, 08:26 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

DALAM 10 tahun terakhir, Indonesia telah menyiakan-nyiakan potensi sangat besar dari sektor kependudukan, yaitu demographic dividend atau bonus demografi.

Sejatinya bonus demografi bisa menjadi engine of growth dalam perekonomian Indonesia sehingga laju pertumbuhan ekonomi bisa semakin cepat, semakin besar, bahkan meroket.

Baca juga: Bonus Demografi, Potensi yang Diabaikan

Namun sayangnya, bonus demografi tidak membawa dampak signifikan terhadap perkembangan ekonomi Indonesia. Dalam 10 tahun terakhir, perekonomian Indonesia cenderung stagnan atau bahkan mengalami penurunan.

Potensi Sumber Daya Manusia (SDM) yang besar seharusnya dapat dimanfaatkan dengan baik. Bonus demografi harus bisa dimanfaatkan dengan baik sehingga dapat menjadikan perekonomian Indonesia tumbuh meroket, alih-alih mengalami “hard landing”.

Untuk menjadikan bonus demografi sebagai engine of grwoth pertumbuhan ekonomi, terdapat beberapa syarat yang harus dipenuhi.

Salah satu syarat utama selain faktor kesehatan dan pendidikan adalah ketersediaan lapangan kerja yang layak (decent job) yang bisa menjadi wadah bagi para penduduk muda Indonesia untuk berkreasi.

Syarat yang pastinya tidak mudah mengingat dalam dua dekade terakhir kualitas pertumbuhan ekonomi Indonesia mengalami penurunan tajam.

Jika pada masa pemerintahan Orde Baru satu persen pertumbuhan ekonomi bisa menciptakan 500.000 lapangan kerja baru, maka dalam 10 tahun terakhir, satu persen pertumbuhan ekonomi hanya mampu menciptakan 250.000 lapangan kerja baru, turun setengahnya.

Menggenjot usaha Milenial

Mendorong generasi milenial dan generasi Z (Gen-Z) membuat usaha kreatif tidaklah semudah membalik telapak tangan.

Menurut survei Ease Doing Business 2020, memulai usaha di Indonesia merupakan hal yang paling sulit dilakukan oleh para pelaku usaha.

Di samping masalah permodalan, alur birokrasi perizinan menjadi hal yang banyak dikeluhkan oleh para pelaku usaha rintisan (start-up).

Perlu waktu lama dan biaya yang tidak sedikit bagi para pelaku usaha rintisan untuk memulai usahanya. Hal inilah yang kemudian menjadi para pelaku usaha rintisan redup sebelum berkembang.

Beberapa usaha rintisan memang mampu tumbuh, berkembang, dan menjadi usaha raksasa (unicorn dan decacorn), namun jumlahnya sangat kecil dibandingkan dengan total keseluruhan usaha rintisan.

Bahkan usaha-usaha yang berhasil menjadi usaha unicorn dan decacorn bukanlah hasil dari design pemerintah. Mereka tumbuh karena usaha dan kreativitas mereka sendiri.

Oleh karena itu, jika pemerintah benar-benar ingin memanfaatkan bonus demografi dan menjadikan sebagai engine of growth perekonomian Indonesia, maka pemerintah harus serius mendorong dan membantu usaha-usaha rintisan yang dibuat oleh kelompok milenial dan Gen-Z.

Selama ini pemerintah memang telah berupaya mendorong usaha-usaha rintisan melalui skema bantuan kewirausahaan dan UMKM. Namun bantuan tersebut terkesan tidak serius.

Bantuan dan program pemerintah tersebut banyak tersebar di berbagai kementerian dan lembaga sehingga tidak terencana, terarah, dan jauh dari kata efektif.

Selama ini bantuan pemerintah disusun dalam lima skema utama. Lima skema tersebut adalah bantuan sosial untuk UMKM yang sangat rentan, insentif pajak, relaksasi dan restrukturisasi kredit serta subsidi suku bunga, perluasan pembiayan modal kerja, dan penetapan BUMN dan Pemda sebagai penyangga UMKM.

Namun pertanyaan berikutnya adalah apakah lima skema bantuan pemerintah ini sudah sesuai dengan kondisi dan kebutuhan UMKM, terutama usaha rintisan dari kelompok milenial dan Gen-Z?

Terdapat beberapa masalah krusial usaha rintisan yang sebenarnya belum terjawab di dalam skema bantuan pemerintah tersebut.

Permasalahan krusial pertama terkait validitas data. Sejauh ini pemerintah belum memiliki data valid terkait berapa jumlah UMKM, termasuk di dalamnya usaha-usaha rintisan.

Menurut catatan pemerintah, saat ini terdapat 60 juta UMKM yang di dalamnya terdapat usaha rintisan. Dari jumlah tersebut 23 juta di antaranya belum bankable.

Namun sejauh ini pemerintah belum memiliki data akurat terkait sebaran dan mitigasi usaha rintisan dan UMKM tersebut, mana yang perlu dibantu dan mana yang bisa ditangguhkan.

Sektor UMKM apa saja yang menjadi sektor kunci dan menjadi prioritas pembangunan ekonomi Indonesia.

Belum adanya data valid terkait jumlah dan kondisi riil ini, maka besar kemungkinan penyaluran bantuan dan program pemerintah berdasarkan skema yang selama ini menjadi andalan pemerintah.

Oleh karena itu, dapat dipahami jika bantuan program pemerintah selama ini tidak pernah efektif.

Padahal di sisi lain, untuk memulihkan kondisi ekonomi nasional pemerintah memiliki anggaran yang sangat terbatas.

Total anggaran pemerintah dalam APBN sangat terbatas karena pemerintah harus melakukan berbagai pengeluaran rutin yang sulit ditangguhkan.

Setiap tahun pemerintah harus membayar bunga utang yang jumlahnya bisa mencapai lebih dari 15 persen total belanja pemerintah dalam APBN.

Pemerintah juga harus melakukan pengeluaran untuk pengeluaran mandatori (mandatory spending), yaitu dana untuk pendidikan yang jumlahnya 20 persen dari jumlah total belanja pemerintah.

Di samping tersandera berbagai regulasi, alokasi bantuan usaha rintisan dan UMKM yang dianggarkan pemerintah dalam APBN sangat kecil.

Bantuan modal yang tersebar di berbagai kementerian dan lembaga jika digabungkan tidak lebih dari Rp 2 triliun. Anggaran ini memang masih jauh dari kata ideal.

Oleh karena itu, efektivitas anggaran belanja negara untuk membantu UMKM dan usaha rintisan harus benar-benar diperhatikan.

Pemerintah bersama Bank Indonesia (BI) sebagai pemegang kebijakan moneter, dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) harus serius dan bersatu padu membantu UMKM dan usaha rintisan untuk dapat memberikan kontribusi signifikan dalam perkembangan ekonomi Indonesia.

Program bantuan UMKM dan usaha rintisan

Langkah pemerintah melalui berbagai skema bantuan dan program pengembangan UMKM dan usaha rintisan perlu diapresiasi.

Namun program tersebut belum cukup untuk menjawab dan mengeluarkan UMKM dan usaha rintisan dari permasalahan riil yang selama ini menjangkit kinerja mereka.

Setidaknya terdapat empat masalah utama yang selama ini menjadi faktor penghambat perkembangan UMKM dan usaha rintisan selama ini.

Keempat masalah tersebut adalah terbatasnya akses pasar terutama pasar ekspor, tingkat daya saing rendah yang disebabkan oleh tingginya biaya logistik.

Kemudian akses permodalan yang masih terbatas dan tingginya biaya modal, dan masalah terakhir adalah masih tingginya barang-barang impor yang menjadi substitusi produk UMKM dan usaha rintisan.

Program-program bantuan pemerintah untuk UMKM dan usaha rintisan selama ini lebih sering fokus pada aspek permodalan seperti program Kredit Usaha Rakyat (KUR), pembiayaan Ultra Mikro (UMi), dan program Membina Ekonomi Keluarga Sejahtera (Mekar).

Padahal masalah paling krusial bukan terletak pada aspek permodalan. Masalah terbesar yang dihadapi oleh UMKM dan usaha rintisan adalah terbatasnya akses pasar terutama untuk pasar ekspor.

Oleh karena itu, pemerintah harus memiliki program yang bisa membuka akses pasar potensial serta mendorong para pelaku UMKM dan usaha rintisan untuk “Go Global”, memasuki pasar-pasar potensial di luar Indonesia.

Masalah akses pasar ini sering kali berkaitan dengan tingkat daya saing produk-produk UMKM dan usaha-usaha rintisan yang relatif masih rendah.

Kompetisi di pasar global mengharuskan setiap pelaku industri termasuk UMKM dan usaha rintisan memiliki tingkat daya saing yang tinggi.

Jika indeks daya saing produk-produk UMKM dan usaha rintisan masih rendah, maka kecil kemungkinan para pelaku UMKM dan usaha rintisan tersebut mampu bersaing dengan para pelaku industri dari luar negeri.

Oleh karena itu, pemerintah wajib menghilangkan high cost economy di dalam sistem perekonomian Indonesia yang selama ini menjadi salah satu penyebab utama dari rendahya indeks daya saing produk-produk UMKM dan usaha rintisan tersebut.

Salah satu penyebab utama dari high cost economy di dalam sistem perekonomian Indonesia adalah masih tingginya biaya logistik.

Biaya logistik di dalam sektor industri Indonesia bisa mencapai lebih dari 25 persen dari total biaya produksi. Jumlah yang sangat besar dan mengakibatkan sistem produksi industri kita sangat tidak efisien.

Pemerintah harus berusaha keras untuk menurunkan biaya logistik dengan menciptakan sistem transportasi yang terintegrasi dan berbiaya murah, serta menurunkan ongkos bongkar muat yang selama ini dikenal mahal.

Selain biaya logistik, biaya modal untuk UMKM dan usaha rintisan juga mahal. Kewajiban jaminan pembiayaan (collateral) serta tingkat suku bunga efektif yang tinggi menjadikan biaya modal untuk UMKM dan usaha rintisan cenderung jauh lebih mahal dibanding biaya modal untuk usaha menengah besar.

Untuk menyelesaikan masalah ini, pemerintah harus bekerja sama secara sinergis dengan BI dan OJK sebagai pemegang otoritas moneter dan industri keuangan.

Bank Indonesia harus menetapkan Loan to Value (LTV) yang besar untuk sektor UMKM dan usaha rintisan sehingga besaran Down Payment (DP) untuk UMKM dan usaha rintisan bisa jauh lebih rendah.

Penetapan suku bunga acuan untuk sektor-sektor yang melibatkan UMKM dan usaha rintisan ditekan serendah mungkin sehingga suku bunga efektif lembaga pembiayaan untuk UMKM dan usaha rintisan bisa lebih rendah lagi.

Otoritas Jasa Keuangan juga harus mendorong lembaga-lembaga pembiayaan untuk beroperasi lebih efisien lagi sehingga bisa menetapkan biaya lebih rendah yang pada akhirnya bisa menurunkan suku bunga efektif bagi para pelaku UMKM dan usaha rintisan.

Untuk menyelesaikan permasalahan-permasalahan UMKM dan usaha rintisan tersebut tidak semudah membalik telapak tangan.

Namun dengan usaha serius, kolektif dan terintegratif, serta pantang menyerah dari pemerintah, sektor UMKM dan usaha rintisan dapat maju dan bisa naik kelas menjadi usaha menengah dan usaha besar.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com