Mereka biasanya dapatkan dengan harus berutang pada tengkulak. Dengan syarat, pembayaran menggunakan kopra.
Selain itu, tantangan ada pada tahapan mengolah kelapa: membelah dan pengasapan kelapa.
Potensi pisau tajam melenceng melukai tangan dan bagian tubuh lainnya. Juga saat pengasapan daging kelapa. Terpapar asap cukup lama dan intens bisa mengganggu saluran pernapasan para petani.
Setelah produksi kopra selesai. Masalah lain menanti. Harga kopra cenderung fluktuatif, naik-turun, bahkan pernah mencapai Rp 2.500/kg.
Ini tentu sangat tidak sebanding dengan pengeluaran dan kerja keras yang mereka lakukan, terlebih panen kopra hanya setahun 4 kali.
Harga beli biasanya ditentukan pembeli/tengkulak yang sangat berpotensi semena-mena. Kadang tengkulak lancung bermain harga. Pembayaran utang atas modal pun tidak bisa ditutupi. Hingga ia memiliki utang yang terus berjangka tidak putus.
Yang juga ramai diperbincangkan adalah lahan pertanian/perkebunan mulai berkurang. Alasannya adalah alih fungsi lahan untuk pertambangan dan perkebunan sawit.
WALHI Maluku Utara mencatat ada 108 izin tambang di Maluku Utara (hingga 2022) yang disebar di beberapa kabupaten.
Cakupan wilayahnya hingga 637.370 hektare atau seperlima dari luas wilayah provinsi Maluku Utara (Kompas.id).
Secara pengolahan, tambang terkenal tidak ramah lingkungan bersifat tidak dapat diperbarui—akan habis dalam jangka waktu tertentu—tidak bersifat berkelanjutan.
Masalah selanjutnya adalah kurangnya inovasi dalam produk olahan. Selama ini olahan kelapa, pala, dan cengkih cenderung monoton dan tidak kekinian.
Kebanyakan kelapa menjadi kopra. Pala dan cengkih umumnya dijual mentah tanpa diolah terlebih dulu. Padahal, jika mengolahnya menjadi produk turunan tertentu, kita akan menghasilkan nilai tambah/harga dari produk tersebut.
Banyak daerah sudah mengembangkan ini. Misalnya kelapa. Semua bagian kelapa mulai dari daging, sabut, sampai daunnya bisa dijadikan produk turunan: nata de coco, minyak kelapa murni (VCO) yang bernilai tinggi untuk kesehatan dan kecantikan, pot, kerajinan tangan, dan pajangan seni di rumah.
Pala dan cengkih bisa diolah menjadi parfum atau wewangian sejenisnya, sirup, dan lainnya.
Regulasi tentang kopra terbilang usang karena hanya ada satu regulasi, yakni Peraturan Presiden Nomor 11 Tahun 1963 tentang Kopra. Itu pun belum ada aturan turunannya sehingga tampak sia-sia.