Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Titania Audrey Al Fikriyyah
Pegawai Negeri Sipil

Anggota Komunita Kemenkeu

Cukupkah Cukai Minuman Berpemanis Mengatasi Diabetes dan Obesitas?

Kompas.com - 12/02/2024, 07:36 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

DALAM dunia kesehatan modern, ancaman penyakit tidak menular juga tidak kalah serius dari penyakit menular.

Semakin bertambahnya aneka ragam zat aditif pada makanan dan minuman, menunjukkan semakin berkembangnya ilmu teknologi pangan dalam meningkatkan cita rasa.

Namun, “modernisasi pangan” tersebut juga berimbas pada “modernisasi masalah kesehatan”.

Tercatat sebanyak 47,9 juta orang di Indonesia mengonsumsi gula berlebih berdasarkan data mikro Survei Sosial Ekonomi Nasional Badan Pusat Statistik (Susenas BPS) tahun 2021. Kelompok masyarakat ini rentan terhadap risiko diabetes dan obesitas.

Angka penderita diabetes di Indonesia pada tahun 2021 adalah sebesar 19,47 juta jiwa menurut International Diabetes Federation (IDF).

Angka ini diperkirakan dapat mencapai hingga 30 juta jiwa pada 2030 menurut Kementerian Kesehatan.

Selain diabetes, risiko obesitas juga mengintai kelompok masyarakat ini. Tercatat pada Riset Kesehatan Nasional 2018, penderita obesitas mengalami peningkatan sebanyak dua kali lipat dalam kurun waktu 10 tahun.

Prevalensi obesitas pada tahun 2007 masih 19,1 persen dan meningkat menjadi 35,4 persen pada tahun 2018 (Harian Kompas, 2023).

Bangsa Indonesia perlu membangun generasi yang sehat agar dapat mewujudkan Indonesia Emas 2045.

Oleh karena itu, Pemerintah telah menyiapkan kebijakan fiskal baru berupa penerapan cukai pada minuman berpemanis dalam kemasan (MBDK) guna mengendalikan risiko diabetes dan obesitas.

Kebijakan ini mulai dibahas pada 2016 dan telah ditargetkan menghasilkan penerimaan negara sebesar Rp 4,39 triliun sesuai yang tertera pada Peraturan Presiden Nomor 76 Tahun 2023 tentang Rincian Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Tahun 2024.

Lalu, apakah upaya penerapan cukai minuman berpemanis cukup untuk mengendalikan masalah diabetes dan obesitas di Indonesia?

Mengatasi dampak “pahit” dari gula

Minuman berpemanis dalam kemasan (MBDK) adalah semua produk minuman berpemanis dalam kemasan seperti minuman bersoda, susu cair kemasan, susu kental manis, sirup, dan sebagainya.

Seiring dengan meningkatnya jumlah penderita diabetes dan obesitas, Pemerintah di sejumlah negara di dunia mulai mengendalikan konsumsi minuman berpemanis melalui berbagai kebijakan, salah satunya adalah dengan mengenakan cukai.

Setidaknya ada 82 negara yang telah menerapkan kebijakan ini pada 2022 (WHO, 2022)

Berdasarkan data BPS, kontribusi industri pengolahan makanan dan minuman nasional atas dasar harga berlaku (ADHB) mencapai 38,35 persen terhadap industri pengolahan nonmigas atau 6,32 persen dari total perekonomian nasional pada tahun 2022.

Apabila aturan cukai MBDK diterapkan, menurut hasil penelitian dari Center for Indonesia’s Strategic Development Initiatives (CISDI), kenaikan harga minuman berpemanis sebesar 20 persen akan menurunkan permintaan rata-rata sebesar 17,5 persen atau 14,3 persen hingga 18,6 persen untuk setiap kelompok minuman berpemanis (Harian Kompas, 2024).

Walaupun begitu, adanya pengenaan cukai MBDK sebaiknya dilengkapi dengan kebijakan pendukung lainnya untuk menambah upaya penurunan prevalensi diabetes dan obesitas.

Salah satu strategi kebijakan yang dapat diterapkan adalah kebijakan NutriGrade yang telah diterapkan di Singapura. NutriGrade adalah kebijakan Pemerintah Singapura untuk memberikan label dari A sampai D pada produk makanan dan minuman.

Pemberian label ini didasarkan pada kandungan gula serta lemak jenuh dalam suatu produk. Produk yang mendapat label D adalah produk yang memiliki kandungan gula serta lemak jenuh tertinggi sehingga dilarang beriklan di Singapura.

Kebijakan ini mendorong pelaku usaha di Singapura untuk melakukan reformulasi terhadap produknya agar dapat meraih label A.

Masyarakat pun diuntungkan dengan adanya kebijakan ini karena memudahkan mereka dalam memilih makanan dan minuman yang lebih sehat.

Namun, upaya ini saja juga tidak cukup karena beberapa hasil penelitian menunjukkan terkadang nutrisi yang tercatat pada suatu produk tidak sesuai dengan kandungan aslinya.

Profesor Kesehatan Anak Michael I. Goran, PhD dalam bukunya Sugarproof menemukan bahwa hasil uji lab menunjukkan adanya kandungan gula di suatu produk yang justru lebih tinggi dari yang tertera di produknya.

Hasil yang sama juga ditemukan oleh salah satu influencer teknologi pangan Indonesia, Dennis Guido, yang menguji beberapa produk minuman yang ternyata memiliki kandungan gula lebih tinggi dari yang tertera di produk.

Oleh karena itu, edukasi dalam skala rumah tangga menjadi hal yang sangat mendasar dalam upaya mengurangi konsumsi gula di masyarakat.

Edukasi tersebut dapat mencakup informasi terkait kebutuhan konsumsi gula harian, dampak konsumsi gula berlebih, serta strategi memilih makanan atau minuman.

Untuk membangun generasi masyarakat Indonesia yang sehat memang diperlukan sinergi dari berbagai sektor, baik dari Kementerian Kesehatan selaku leading sector, Kementerian Keuangan, Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM), dan sebagainya.

Kita berharap pengenaan cukai tetap dibarengi dengan upaya edukasi dan perbaikan pengawasan pangan sebagai bentuk komitmen serius Pemerintah dalam mengatasi masalah diabetes dan obesitas yang saat ini telah dianggap sebagai epidemi global.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com