Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Arip Muttaqien
Akademisi, Peneliti, dan Konsultan

Doktor ekonomi dari UNU-MERIT/Maastricht University (Belanda). Alumni generasi pertama beasiswa LPDP master-doktor. Pernah bekerja di ASEAN Secretariat, Indonesia Mengajar, dan konsultan marketing. Saat ini berkiprah sebagai akademisi, peneliti, dan konsultan. Tertarik dengan berbagai topik ekonomi, pembangunan berkelanjutan, pembangunan internasional, Asia Tenggara, monitoring-evaluasi, serta isu interdisiplin. Bisa dihubungi di https://www.linkedin.com/in/aripmuttaqien/

Navigasi Ekonomi Masa Depan dan "Reskilling" Tenaga Kerja

Kompas.com - 02/04/2024, 11:32 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

SAAT ini tren global mengalami perubahan yang sangat cepat. Sebagai contoh, ekonomi digital, kecerdasan buatan (Artificial Intelligence/AI), pembangunan berkelanjutan, dan perubahan iklim (climate change) merupakan beberapa tren yang muncul dan berkembang.

Perubahan ini berdampak signifikan terhadap kebutuhan tenaga kerja yang memiliki keterampilan yang sesuai. Tanpa keterampilan yang align dengan kebutuhan masa depan, produktivitas serta pertumbuhan ekonomi akan cenderung mengalami perlambatan.

Pertanyaan selanjutnya, skills apa yang sebenarnya dibutuhkan di masa depan?

Penelitian yang dilakukan sebelumnya oleh beberapa lembaga bisa menjadi rujukan. Menurut survei "Asia Pacific Workforce Hopes and Fears Survey 2023" oleh PwC, sekitar 44 persen pekerja percaya bahwa keterampilan yang berbeda akan dibutuhkan dalam lima tahun ke depan, meskipun belum ada kejelasan pasti mengenai keterampilan apa saja itu.

Berdasarkan respons dari hampir 20.000 pekerja di Asia Pasifik, tiga keterampilan utama yang dianggap penting adalah adaptabilitas/fleksibilitas (69 persen), kemampuan kerja sama (67 persen), dan berpikir kritis (66 persen).

Sebanyak 41 persen pekerja berpendapat bahwa kecerdasan buatan (AI) dapat meningkatkan produktivitas, sedangkan 34 persen melihat AI sebagai kesempatan untuk mempelajari keterampilan baru.

Namun, ada juga 16 persen pekerja yang percaya bahwa AI dapat menggantikan pekerjaan mereka.

Hal terpenting terkait pekerjaan, antara tahun 2023 ke 2027 diprediksi bahwa dari 673 pekerjaan, 83 juta pekerjaan akan hilang dan 69 juta pekerjaan baru muncul.

World Economic Forum (WEF) secara rutin memublikasikan Laporan Masa Depan Pekerjaan (Future of Jobs Report) setiap dua tahun.

Laporan terakhir yang diterbitkan pada Mei 2023, mencakup respons dari 800-an perusahaan, melibatkan lebih dari 11 juta pekerja di 45 negara dan 27 industri.

Lebih dari 85 persen perusahaan setuju bahwa adopsi teknologi menjadi pendorong utama transformasi bisnis dalam lima tahun ke depan.

Tren lain yang muncul adalah adopsi Environmental, Social, and Governance (ESG) di setiap perusahaan. Namun, perusahaan juga mencatat risiko inflasi dan pelambatan pertumbuhan ekonomi.

Terkait dengan pekerjaan, antara tahun 2023 hingga 2027, diprediksi bahwa dari 673 juta pekerjaan, 83 juta akan hilang dan 69 juta pekerjaan baru akan muncul.

Pekerjaan yang berkaitan dengan AI dan Machine Learning diperkirakan akan tumbuh paling cepat, diikuti oleh pekerjaan terkait keberlanjutan dan perubahan iklim.

Sebaliknya, pekerjaan klerikal, sekretaris, kasir, dan penjual tiket diperkirakan akan menurun secara signifikan.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com