Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Andrean Rifaldo
Praktisi Perpajakan

Praktisi perpajakan. Tulisan yang disampaikan merupakan pendapat pribadi dan bukan merupakan cerminan instansi.

Mengelola Keuangan di Tengah Pelemahan Rupiah

Kompas.com - 22/04/2024, 08:42 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

Kedua, diversifikasi portofolio investasi pada instrumen dengan denominasi mata uang atau valuta asing (valas) dapat membantu meminimalkan risiko fluktuasi nilai tukar.

Obligasi negara valas seri INDON dan INDOIS yang diterbitkan pemerintah dalam mata uang dollar AS merupakan salah satu contohnya.

Diversifikasi pada instrumen investasi valas memberikan keuntungan ganda. Hal ini karena nilai investasi tidak hanya ikut meningkat ketika kurs justru tengah melemah, tetapi juga memperoleh imbal hasil lainnya baik dari kenaikan nilai aset, kupon bunga, maupun dividen yang diberikan.

Misalnya, dengan menjadikan obligasi negara valas sebagai bagian dari portofolio investasi, investor akan memperoleh manfaat tambahan berupa keamanan dana dari risiko gagal bayar karena dijamin pemerintah.

Selain itu, likuditas aset juga tetap tinggi karena dapat diperjualbelikan di pasar sekunder.

Ketiga, bagi pelaku usaha, melemahnya rupiah justru menjadi peluang positif yang dapat dimanfaatkan untuk meningkatkan keuntungan dari aktivitas ekspor. Hal ini karena mata uang yang terlalu kuat sebenarnya juga tidak terlalu baik bagi sektor ekspor.

Jika nilai mata uang domestik terlalu mahal bagi valuta asing, maka harga produk lokal yang dipasarkan di luar negeri akan menjadi lebih mahal bagi pembelinya. Hal ini justru berisiko melemahkan pangsa pasar ekspor bagi pelaku usaha dalam negeri.

Situasi seperti ini pernah dihadapi oleh Swiss dan Jepang ketika mata uangnya menjadi salah satu yang terkuat secara global selama bertahun-tahun.

Bahkan, bank sentral di kedua negara tersebut sampai menetapkan suku bunga negatif untuk mendorong inflasi, sebelum kebijakan tersebut akhirnya berakhir pada 2022 di Swiss dan pada Maret 2024 lalu di Jepang.

Tren pelemahan kurs saat ini dapat menjadi momen yang tepat bagi pelaku usaha untuk meningkatkan intensitas aktivitas ekspor. Harga di pasar ekspor yang menjadi lebih tinggi menawarkan margin keuntungan yang lebih baik dibanding pangsa pasar domestik.

Langkah ini juga akan berdampak positif terhadap surplus neraca perdagangan nasional. Dengan demikian, terbentuk fundamental yang kuat bagi rupiah untuk kembali menguat setelah tren pelemahan akibat kondisi global membaik.

Terakhir, bagi rumah tangga, inflasi dari dampak pelemahan kurs tidak harus selalu dihadapi. Melemahnya kurs secara garis besar memberikan dampak pada harga produk impor.

Namun, dampak ini tidak harus selalu dirasakan oleh rumah tangga. Mengalihkan konsumsi impor dengan produk lokal substitusinya dapat menjadi langkah sederhana menghadapi fase pelemahan kurs.

Sebaliknya, peluang yang sama juga berlaku bagi pelaku usaha dalam negeri. Menurunnya minat konsumsi barang impor akan mengurangi persaingan sehingga membantu pelaku usaha memperluas pangsa pasarnya.

Hal ini menjadi momen tepat dalam meningkatkan kualitas produk yang ditawarkan untuk menarik basis pelanggan.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com