Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Udin Suchaini
ASN di Badan Pusat Statistik

Praktisi Statistik Bidang Pembangunan Desa

Gabah Melimpah Pendapatan Petani Melemah

Kompas.com - 05/05/2024, 07:00 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

Dari sisi harga, harga beras Indonesia cukup bersaing dibanding negara-negara sumber impor. Mengutip data Numbeo, harga beras Indonesia jauh lebih murah dibanding beras dari Vietnam dan Thailand.

Bahkan, harga beras di Thailand mencapai Rp 18.848,34. Namun, harga beras Indonesia masih lebih mahal dari India sebesar Rp 11.353,08.

Petani pun hanya bisa pasrah dengan jatuhnya harga akibat melimpahnya produksi gabah dan rendahnya harga beras. Meskipun harga gabah yang diterima petani telah turun, namun ongkos produksi yang dikeluarkan petani sudah terlanjur tinggi.

Ongkos produksi

Petani tanaman pangan semakin terhimpit di tengah-tengah persoalan jatuhnya harga gabah dan meningkatnya ongkos produksi.

Kondisi ini dapat dilihat dari nilai tukar petani tanaman pangan (NTPP), di mana dalamnya penurunan NTPP tanaman pangan justru ditopang oleh meningkatnya indeks yang dibayarkan petani.

NTPP turun sebesar 7,64 dari 114,28 pada Maret menjadi 105,54 pada April 2024, dengan rincian indeks harga yang diterima petani (It) turun sebesar 7,10 persen, sementara indeks harga yang dibayarkan petani (Ib) justru meningkat 0,59 persen.

Hal ini diperparah dengan banyaknya petani gurem. Diagnosa dengan NTP ini hanya bekal kemampuan untuk konsumsi sehari-hari, bukan kesejahteraan petani.

Karena, konsumsi rumah tangga yang jauh lebih tinggi dari biaya produksi produksi dan penambahan barang modal.

Catatan BPS, Indeks Kelompok Konsumsi Rumah Tangga (IKRT) meningkat sebesar 0,76 persen dan Indeks Kelompok Biaya Produksi dan Penambahan Barang Modal (BPPBM) meningkat sebesar 0,16 persen, terutama pada Upah Pemanenan, Upah Penanaman, hingga Ongkos Angkut.

Sementara, peningkatan ongkos produksi rumah tangga usaha pertanian didorong oleh upah pemanenan, upah penanaman, dan upah membajak.

Sehingga, turunnya harga gabah dan tingginya ongkos yang dikeluarkan, membuat NTUP Tanaman Pangan tertekan sebesar 7,25 persen dari 117,43 pada Maret 2024 menjadi 108,92 pada April 2024.

Penurunan ini terjadi karena It turun sebesar 7,10 persen, sedangkan indeks BPPBM mengalami kenaikan sebesar 0,16 persen.

Kenaikan upah jauh lebih permanen dibandingkan dengan dinamika harga gabah yang diproduksi.

Kenyataannya, menurut publikasi Statistik Upah Buruh Tani di Perdesaan yang dikeluarkan oleh BPS, upah buruh tani tanaman pangan meningkat pesat pada periode 2014-2022.

Upah Menanam meningkat sebesar 82,66 persen dari Rp 38.247 pada Januari 2014 menjadi Rp 69.863 pada Desember 2022.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com