Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Andrean Rifaldo
Praktisi Perpajakan

Praktisi perpajakan. Tulisan yang disampaikan merupakan pendapat pribadi dan bukan merupakan cerminan instansi.

Ketika Pajak Warisan Jadi Polemik di India

Kompas.com - 06/05/2024, 07:00 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

Dalam sejarahnya, India sebenarnya pernah menerapkan pajak warisan. Pada 1953, Pemerintah India mengesahkan Undang-Undang Pajak Warisan sebagai upaya memitigasi ketimpangan yang saat itu juga telah menjadi permasalahan signifikan.

Mekanisme pajak warisan sebenarnya sangat sederhana: pajak dipungut kepada ahli waris atas harta warisan yang ditinggalkan dalam jumlah besar.

Namun, sepanjang praktiknya, muncul banyak sengketa hukum antara ahli waris dan otoritas pajak. Pajak warisan yang diperoleh pun menjadi tidak sebanding dengan biaya yang dikeluarkan pemerintah untuk mengumpulkannya.

Setelah tiga dekade, India mencabut kebijakan pajak warisan pada 1985.

Secara teori, pajak warisan sebenarnya memang bisa menjadi alternatif kebijakan untuk mengatasi ketimpangan. Dengan pajak warisan, kekayaan antargenerasi yang terpusat di masyarakat kelas atas dapat diturunkan untuk disalurkan ke masyarakat berpenghasilan rendah.

Di beberapa negara bagian Amerika Serikat, misalnya, anggaran pendapatan pajak warisan secara khusus digunakan untuk mendanai berbagai program bantuan sosial. Inilah sasaran yang sebenarnya diharapkan dari pajak warisan, yaitu untuk memeratakan ekonomi.

Selain itu, pajak warisan dinilai juga dapat mendorong masyarakat kelas atas untuk menyumbangkan hartanya. Dalam hukum pajak di banyak negara, sumbangan menjadi pengeluaran yang bisa diakui untuk meringankan pajak.

Dengan begitu, pajak warisan seolah menjadi insentif untuk memberikan sumbangan agar bisa meringankan pajak yang terutang ketika mewariskan harta.

Namun, dalam praktiknya, teori-teori tersebut ternyata sulit untuk direalisasikan. Dilema moralitas dan gugatan hukum membuat pajak warisan berjalan tidak sesuai tujuan yang diharapkan.

Dalam hukum pajak, salah satu asas pemungutan pajak menghendaki agar pajak dipungut di saat yang paling memudahkan bagi pembayarnya. Asas yang demikian disebut kenyamanan pembayaran (convenience of payment).

Sebaliknya, tidak sejalan dengan asas tersebut, pajak warisan menjadi persoalan moral karena kewajibannya timbul atas kematian anggota keluarga yang merupakan peristiwa duka bagi ahli waris selaku pembayarnya.

Faktor tersebut yang menjadi salah satu alasan mengapa negara-negara yang kebudayaannya menjunjung ikatan keluarga, seperti Indonesia, Malaysia, dan Tiongkok, tidak memungut pajak warisan.

Masalah lainnya adalah harta warisan tidak selalu berbentuk tunai dan barang yang mudah dicairkan. Ini menjadi persoalan bagi para ahli waris yang diharuskan membayar pajaknya secara tunai.

Ahli waris pun harus berupaya mengumpulkan kas untuk melunasi pajaknya, yang pada akhirnya justru harus menjual harta yang diwariskan. Kondisinya akan semakin sulit apabila harta warisan berupa properti dan harta lain bernilai besar yang sulit terjual.

Kasus ini pernah terjadi di Korea Selatan ketika Lee Kun-Hee, pimpinan Samsung selama tiga dekade, wafat pada 2020. Para ahli warisnya harus menjual saham perusahaan untuk melunasi pajak senilai 10,7 miliar dollar AS, yang merupakan pajak warisan terbesar sepanjang sejarah Korea Selatan (Harian Kompas, 29/4/2021).

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com