Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
MG Westri Kekalih Susilowati
Dosen

Westri Kekalih Susilowati. Dosen di fakultas Ekonomi dan Bisnis Soegijapranata Catholic University (SCU) Semarang

PPN 12 Persen: Siapkah Perekonomian Indonesia?

Kompas.com - 15/05/2024, 18:10 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

WACANA penyesuaian tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12 persen pada 2025 telah bergulir.

Penyesuaian PPN akan menyebabkan harga yang dibayarkan konsumen naik karena produsen menggeser beban pajaknya kepada konsumen dengan menaikkan harga komoditas.

Pertanyaan yang muncul, sudah siapkah kondisi perekonomian menerima penyesuaian tarif PPN?

Pajak dan kontraksi ekonomi

Menurut teori penentuan keseimbangan pendapatan nasional, pajak merupakan komponen bocoran (leakage) dalam alir lingkar pendapatan nasional.

Disebut sebagai bocoran karena komponen pajak memiliki sifat mengurangi pendapatan nasional dalam aliran tersebut karena tidak dibelanjakan untuk membeli barang dan jasa yang akan menjadi penerimaan sektor bisnis.

Artinya, semakin tinggi pajak, maka akan menurunkan besarnya pendapatan nasional.

Selain pajak, komponen yang merupakan bocoran dalam alir lingkar pendapatan nasional adalah tabungan dan impor.

Secara khusus, pajak merupakan bocoran melalui pengaruhnya terhadap pengeluaran konsumsi. Sektor rumah tangga tidak dapat membelanjakan seluruh pendapatannya untuk membeli barang dan jasa karena membayarkan sebagian untuk pajak.

Demikian juga, sektor bisnis yang tidak dapat membelanjakan seluruh penerimaannya untuk membeli faktor produksi karena kewajiban pajaknya.

Dengan demikian, pajak memiliki efek kontraksi bagi perekonomian. Kebijakan menaikkan pajak lebih cocok diterapkan saat perekonomian mengalami tingkat inflasi tinggi atau overheating.

Dalam hal ini, pajak berfungsi mengerem laju inflasi atau mendinginkan suhu perekonomian.

PPN 12 persen picu cost push inflation

Menurut penyebabnya, inflasi dibedakan menjadi inflasi karena tarikan permintaan (demand pull inflation) dan inflasi karena dorongan biaya (cost push inflation).

Inflasi tarikan permintaan adalah tekanan ke atas pada harga yang disebabkan oleh kekurangan penawaran akan barang dan jasa, sementara permintaan akan barang dan jasa tinggi.

Inflasi dorongan biaya (cost push inflation) adalah inflasi yang disebabkan adanya lonjakan biaya produksi. Kenaikan biaya produksi dapat ditelusur dari beberapa penyebab, di antaranya upah tenaga kerja yang tinggi, devaluasi, kenaikan harga bahan baku dan energi, dan pajak.

Mengenai pangaruh pajak terhadap perekonomian dapat ditelusur melalui pengaruhnya terhadap produksi maupun distribusi pendapatan.

Dari jalur produksi, pajak memengaruhi produksi secara keseluruhan maupun komposisi produksi.

Ketika pajak tinggi, seseorang mungkin akan mengurangi tabungan demi mempertahankan tingkat konsumsinya, atau mempertahankan tabungan, tapi mengurangi konsumsi.

Jika mengurangi tabungan, berarti investasi agregat akan menurun. Demikian juga, jika mengurangi konsumsi, maka pengeluaran konsumsi agregat menurun.

Penurunan investasi dan atau konsumsi agregat akan menurunkan pertumbuhan ekonomi.

Pajak juga menyebabkan efisiensi perekonomian menurun karena adanya penyimpangan dalam penggunaan faktor produksi, yaitu penggunaan yang seharusnya dapat menghasilkan produksi maksimum menuju kearah penggunaan yang menghasilkan produksi lebih sedikit.

Penyesuaian tarif PPN menjadi 12 persen menyebabkan harga yang dibayarkan oleh konsumen naik. Hal ini terjadi karena produsen biasanya menggeser beban pajaknya kepada konsumen dengan menaikkan harga komoditas.

Kondisi ini terjadi secara masif, artinya harga-harga keseluruhan mengalami kenaikan alias inflasi.

Kenaikan PPN menjadi 12 persen bisa memicu terjadinya inflasi. Tak pelak lagi, daya beli masyarakat menurun tergerogoti inflasi.

Selanjutnya, pertumbuhan pengeluaran konsumsi masyarakat akan melambat dan berdampak pada pertumbuhan ekonomi.

Padahal, pada aktivitas ekonomi agregat konsumsi rumah tangga adalah pendorong utama pertumbuhan ekonomi dengan kontribusinya yang mencapai 53,18 persen dari seluruh pengeluaran agregat.

Jika masyarakat memilih mengurangi tabungan untuk mempertahankan konsumsi, berarti akumulasi modal investasi akan berkurang.

Investasi yang rendah berarti kapasitas produksi rendah, yang berarti pula berpotensi pada perlambatan pertumbuhan ekonomi.

Jika dipaksakan dengan kapasitas produksi yang besar pun, dihadapkan pada daya beli masyarakat yang rendah.

Belum ada ancaman yang nyata, namun risiko stagflasi ada karena ekonomi biaya tinggi (high-cost economy). Stagflasi, suatu kondisi dengan tingkat inflasi tinggi, tetapi pertumbuhan ekonomi rendah.

Perlu kehati-hatian

Asumsi dasar ekonomi makro pada APBN 2024 yang telah disepakati oleh pemerintah dan DPR di antaranya pertumbuhan ekonomi sebesar 5,2 persen, inflasi terkendali sebesar 2,8 persen, nilai tukar rupiah sebesar Rp 15.000 per dollar AS dan harga minyak dunia (ICP) sebesar 82 dollar AS per Barel.

Sejauh ini fundamental ekonomi Indonesia masih terjaga baik. Tingkat inflasi 2,5 plus/minus 1 persen.

Sampai dengan triwulan I-2024 year on year perekonomian tumbuh 5,11 persen (masih di bawah asumsi dasar APBN 2024).

Namun sejumlah tantangan global maupun domestik masih perlu dihadapi. Secara global, ketegangan geopolitik terutama Iran – Israel dan inflasi yang masih tinggi di Amerika masih membayangi.

Secara domestik, daya beli masyarakat yang belum bulih tertekan oleh fluktuasi harga, khususnya harga pangan. Nilai tukar Rupiah bahkan pernah terdepriasi pada tingkat Rp 16.240 per dollar AS, jauh di atas asumsi APBN.

Perlu kehati-hatian untuk mengimplementasikan PPN 12 persen pada 2025. Indonesia mengalami kontraksi pertumbuhan ekonomi pada tahun 2020 sebesar -2,07 persen.

Seiring dengan berlalunya pandemi Covid-19, perekonomian berangsur pulih. Pada 2021, perekonomian telah kembali tumbuh positif sebesar 3,7 persen, pada 2022 sebesar 5,31 persen dan menurun kembali pada 2023 menjadi 5,05 persen.

Pulihnya perekonomian tersebut berdampak pada daya beli masyarakat sektor rumah tangga. Pengeluaran konsumsi rumah tangga mendominasi Produk Domestik Bruto (PDB) menurut pengeluaran.

Biro Pusat Statistik (BPS) mencatat kontribusi pengeluaran sektor rumah tangga mencapai 56,63 persen pada 2019 menjadi 57,63 persen pada 2020 (masa pandemi). Selanjutnya menurun menjadi 54,4 persen, 51,88 persen, dan 53,18 persen pada 2021, 2022, dan 2023.

Setelah pandemi berakhir, pengeluran sektor rumah tangga meningkat, namun tidak secepat peningkatan PDB secara keseluruhan, yaitu hanya sebesar 2,01 persen di tahun 2021; 4,94 persen di tahun 2022, dan 4,82 persen di tahun 2024.

Sebelum pandemi, pertumbuhan pengeluaran konsumsi sektor rumah tangga mencapai 5,05 persen di tahun 2018 dan 5,05 persen di tahun 2019.

Tidak robust-nya pertumbuhan pengeluaran sektor rumah tangga tersebut mengindikasikan kondisi daya beli masyarakat yang masih relatif rendah.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com