JAKARTA, KOMPAS.com - Di era digital, banyak teori maupun metode bisnis tak lagi relevan dan berujung pada perubahan analisa bisnis. Perubahan ini akhirnya menciptakan aset baru.
Aset tak lagi hanya tangible, yakni aset yang berwujud dan bisa dijamin perbankan. Tapi ada aset intangible yang tak berwujud.
Lantas, apa sebetulnya aset intangible?
Menurut Akademisi dan Praktisi Bisnis Rhenald Kasali, aset intangible adalah aset yang tidak bisa dijamin perbankan, tapi aset yang melekat di diri seseorang, seperti keterampilan, inovasi, ide, pengetahuan, dan brand image.
"Aset intangible itu melekat kepada manusia dan enggak bisa dijaminkan ke bank. Contohnya brain image melekat pada otak, skill melekat pada tangan kita, dan pengetahuan juga melekat pada otak," kata Rhenald Kasali di Jakarta, Kamis (29/8/2019).
Baca juga: Mau Sukses Berbisnis di Era Digital? Simak 6 Pilar Teknologi Ini
"Misalnya begini, kita kirim pegawai 100 orang ke Inggris buat belajar, agar ilmunya terpakai. Itu enggak bisa dicatat aset dalam akuntansi. Dicatatnya sebagai cost karena itu intangible. Terus ada lagi yang namanya kerja sama tim, itu intangible," imbuh Rhenald.
Menurut Rhenald, aset inilah yang banyak digunakan milenial alias new power untuk membangun bisnis di era digital, meski tak bisa dicatat dalam balance sheet akuntansi.
Terbukti dengan menggunakan aset intangible, imbuhnya, bisnis milenial bisa maju dan berkembang. Bahkan tak jarang valuasinya mengalahkan industri-industri yang telah berdiri puluhan tahun lamanya, seperti fenomena Garuda Indonesia dengan Gojek.
"Anak-anak muda itu asetnya (tangible) sedikit. Tapi intangiblenya banyak. Dijaminkan ke bank aja enggak bisa tapi valuasinya bisa mengalahkan perusahaan yang puluhan tahun berdiri," ungkap Rhenald.
Baca juga: Rudiantara soal Ekonomi Digital: Kalau Diatur Terlalu Ketat, Anak muda Bilang Jadul!
Lebih lanjut Rhenald menjelaskan, aset intangible ini diperoleh saat mengimplementasikan orkestrasi dalam bisnis. Dengan kata lain, memanfaatkan ekosistem dari luar perusahaan, bukan aset yang hanya dimiliki di perusahaan (stand alone).
Sama seperti Gojek yang memanfaatkan ekosistem pemilik motor dan menyatukannya dalam sebuah aplikasi, hal serupa juga dilakukan oleh Android dan Ios. Ponsel-ponsel tersebut memanfaatkan ekosistem Appstore dan Google Store sehingga terbangun network.
"Super apps inilah yang membunuh Nokia yang stand alone, yang hanya mengandalkan fitur sms dan fitur telepon dalam ponselnya. Atau Nike yang menciptakan jam tangan pendeteksi kondisi kesehatan tubuh selain produk sepatu. Bayangkan diagnosa dokter pun bisa berubah karena ini," jelas dia.
Jadi, siapkah Anda membangun bisnis di era digital ini?