Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Dr. Tubagus Aryandi Gunawan
Peneliti energi terbarukan di proyek hidrogen Uni Eropa

Setelah lulus dari Universitas Indonesia, Technische Universität Berlin, dan National University of Ireland Galway, saat ini ia aktif meneliti dan menganalisa sistem energi di Amerika Serikat yang merupakan kelanjutan studi Net-Zero America (NZA) di Princeton University. Sebelumnya ia terlibat di studi pengembangan hidrogen dan energi terbarukan di berbagai negara Eropa yang didanai Uni Eropa.
Keahliannya dalam bidang energi dan bahan bakar terbarukan telah membawanya melakukan penelitian di Lembaga Antariksa Jerman (DLR).
Ia tertarik dalam penelitian berbasis tekno-ekonomi, optimasi pembangkit listrik, dan penguatan sistem energi di negara berkembang. Di luar akademik, saat ini ia tergabung di Persatuan Insinyur Indonesia (PII).
Sebelumnya ia pernah mendedikasikan waktunya dalam Dewan Presidium Persatuan Pelajar Indonesia se-Dunia (PPI Dunia) sebagai koordinator untuk kawasan Amerika Eropa dan sempat berperan sebagai Ketua Umum di PPI Irlandia.

Nol Emisi: Tantangan dan Peluang bagi Indonesia

Kompas.com - 20/04/2022, 07:40 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

Emisi antropogenik & alami

PENGETAHUAN manusia terus berkembang setiap hari, bulan, tahun, dekade, dan abad. Selama berabad-abad, sektor ekonomi berkembang menjadi pilar penting kehidupan dalam meraih kemakmuran umat manusia.

Kegiatan ekonomi terus berevolusi dari sekadar menggunakan alat sederhana, mempercepat produktivitas dengan mesin uap, meningkatkan efisiensi dengan elektrifikasi dan elektronisasi, mengotomatisasi dengan digitalisasi, hingga mengoptimalkan strategi dengan kecerdasan buatan.

Di sisi lain, peneliti lingkungan hidup menemukan dan mengingatkan kita semua akan dampak aktivitas manusia yang membuahkan emisi gas buang, yang kemudian disebut sebagai emisi antropogenik (anthropogenic emissions).

Emisi gas buang tersebut termasuk gas karbon dioksida, gas metana, gas dinitrogen oksida, dan gas terfluorinasi yang kemudian dikategorikan sebagai Gas Rumah Kaca (GRK), yang dapat terakumulasi di lapisan terendah atmosfer, yaitu troposfer di ketinggian 8 hingga 15 km dari permukaan laut.

GRK yang terus menebal akibat aktivitas manusia ini dapat menghambat pantulan cahaya matahari kembali ke angkasa, bahkan keberadaannya dapat memantulkan kembali radiasinya ke permukaan bumi yang makin menyebabkan pemanasan global.

Secara alami, gas dari fermentasi atau penguraian senyawa organik ranting dan dedaunan, gas dari kotoran binatang, dan sebagainya disebut emisi alami (natural emissions) juga ikut terakumulasi di troposfer, namun secara alami juga berkurang oleh siklus hujan, kemampuan alami serapan hutan, tanah, dan lautan.

Kondisi inilah yang kemudian disebut sebagai karbon netral (carbon neutral), yaitu ketika seluruh emisi di troposfer adalah emisi alami dan mampu didaur ulang secara alami oleh alam.

Namun saat emisi antropogenik ikut membebani kemampuan alami alam yang hanya mampu mengolah emisi alami, saat itulah total emisi GRK terakumulasi di troposfer yang membahayakan keberlanjutan umat manusia.

Di abad ke-21 ini, lingkungan hidup menjadi pilar kehidupan yang tidak kalah penting dengan ekonomi dalam mencapai kemakmuran yang keberlanjutan bagi umat manusia.

Karena ternyata cara kita mencapai kesejahteraan selama ini masih merugikan dan mengorbankan lingkungan hidup dan membahayakan generasi masa depan.

Perubahan & krisis iklim

Ketika lingkungan hidup terus dirugikan, maka kemakmuran ekonomi yang dibangun pun bagai semu karena dapat dihancurkan di kemudian hari oleh bencana-bencana alam yang merupakan dampak perubahan iklim hasil pemanasan global.

Bencana tersebut meliputi perubahan musim hujan yang mengganggu musim tanam dan panen, kekeringan dan banjir ekstrem, pencairan es di kutub-kutub bumi yang berdampak pada kenaikan permukaan laut sehingga membahayakan pemukiman di pesisir negeri kepulauan.

Tenggelamnya Masjid Wal Adhuna di dekat Pelabuhan Sunda Kelapa yang hanya berjarak sekitar 8 km dari Istana Merdeka adalah saksi bisu paling monumental tentang besar dan nyatanya ancaman perubahan iklim.

Untuk mencegah lebih banyak pesisir yang tenggelam, Jakarta telah membangun tanggul di sepanjang bibir pantainya.

Secara jangka panjang, Jakarta juga mempersiapkan pembangunan Tanggul Laut Raksasa (Giant Sea Wall) sepanjang 32 km dari Tangerang sampai Tanjung priok senilai ratusan triliun rupiah.

Itulah sederet ongkos yang harus dibayar generasi hari ini dan mendatang untuk krisis iklim jika kita yang hidup saat ini masih bertumpu pada industri, transportasi, dan pembangkit listrik yang polutif.

Jejak & intensitas karbon

Hampir semua jenis produk harian yang kita gunakan hari ini dibuat dan diantar dengan kontribusi tenaga hasil pembakaran energi fosil seperti batubara, minyak bumi, dan gas alam.

Gas buang dari pembakaran energi kotor di rantai pasok barang dan jasa inilah yang menyebabkan adanya “jejak karbon” di setiap barang yang kita konsumsi, dari keperluan rumah tangga sehari-hari sampai telepon genggam yang ada di tangan Anda saat ini.

Belum lagi kegiatan transportasi yang juga masih bergantung pada energi fosil yang kaya unsur karbon.

Jejak karbon dari 1 kg kopi yang ada di dapur kita setidaknya menyumbang sekitar total 5 kg setara emisi karbon dioksida yang berasal dari proses penanaman kopi, pemanggangan, pengemasan, hingga transportasi ke pusat perbelanjaan di mana kita membelinya.

Serupa dengan jejak karbon untuk barang dan jasa, di sektor kelistrikan ia disebut sebagai intensitas karbon.

Sebagian besar listrik kita masih diproduksi dari pembakaran batubara dan gas alam, akibatnya setiap kWh listrik yang diproduksi ikut menghasilkan karbon dioksida atau disebut “intensitas karbon” pada listrik.

Parameter ini berguna untuk memahami seberapa banyak karbon dioksida yang ikut dihasilkan dari penggunaan elektronik sehari-hari.

Sebagai contoh adalah hitungan sederhana dari penggunaan pendingin ruangan (air conditioner).

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Bank Ina Ditunjuk sebagai Bank Persepsi

Bank Ina Ditunjuk sebagai Bank Persepsi

Whats New
BI Rate Naik, Perbankan Antisipasi Lonjakan Suku Bunga Kredit

BI Rate Naik, Perbankan Antisipasi Lonjakan Suku Bunga Kredit

Whats New
Menhub Tawarkan 6 Proyek TOD di Sekitar Stasiun MRT ke Investor Jepang

Menhub Tawarkan 6 Proyek TOD di Sekitar Stasiun MRT ke Investor Jepang

Whats New
Terbebani Utang Kereta Cepat, KAI Minta Keringanan ke Pemerintah

Terbebani Utang Kereta Cepat, KAI Minta Keringanan ke Pemerintah

Whats New
ByteDance Ogah Jual TikTok ke AS, Pilih Tutup Aplikasi

ByteDance Ogah Jual TikTok ke AS, Pilih Tutup Aplikasi

Whats New
KKP Tangkap Kapal Malaysia yang Curi Ikan di Selat Malaka

KKP Tangkap Kapal Malaysia yang Curi Ikan di Selat Malaka

Whats New
Soal Denda Sepatu Rp 24,7 Juta, Dirjen Bea Cukai: Sudah Sesuai Ketentuan...

Soal Denda Sepatu Rp 24,7 Juta, Dirjen Bea Cukai: Sudah Sesuai Ketentuan...

Whats New
Permintaan 'Seafood' Global Tinggi jadi Peluang Aruna Perkuat Bisnis

Permintaan "Seafood" Global Tinggi jadi Peluang Aruna Perkuat Bisnis

Whats New
BFI Finance Cetak Laba Bersih Rp 361,4 Miliar pada Kuartal I-2024

BFI Finance Cetak Laba Bersih Rp 361,4 Miliar pada Kuartal I-2024

Whats New
Blue Bird Luncurkan Layanan Taksi untuk Difabel dan Lansia, Ada Fitur Kursi Khusus

Blue Bird Luncurkan Layanan Taksi untuk Difabel dan Lansia, Ada Fitur Kursi Khusus

Whats New
Melihat Peluang Industri Digital Dibalik Kolaborasi TikTok Shop dan Tokopedia

Melihat Peluang Industri Digital Dibalik Kolaborasi TikTok Shop dan Tokopedia

Whats New
Walau Kas Negara Masih Surplus, Pemerintah Sudah Tarik Utang Baru Rp 104,7 Triliun Buat Pembiayaan

Walau Kas Negara Masih Surplus, Pemerintah Sudah Tarik Utang Baru Rp 104,7 Triliun Buat Pembiayaan

Whats New
Persaingan Usaha Pelik, Pakar Hukum Sebut Program Penyuluh Kemitraan Solusi yang Tepat

Persaingan Usaha Pelik, Pakar Hukum Sebut Program Penyuluh Kemitraan Solusi yang Tepat

Whats New
Bulog: Imbas Rupiah Melemah, Biaya Impor Beras dan Jagung Naik

Bulog: Imbas Rupiah Melemah, Biaya Impor Beras dan Jagung Naik

Whats New
Harga Emas Terbaru 18 April 2024 di Pegadaian

Harga Emas Terbaru 18 April 2024 di Pegadaian

Spend Smart
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com