KOLOM BIZ
Konten ini merupakan kerja sama Kompas.com dengan Experd Consultant
Eileen Rachman dan Emilia Jakob
Character Building Assessment & Training EXPERD

EXPERD (EXecutive PERformance Development) merupakan konsultan pengembangan sumber daya manusia (SDM) terkemuka di Indonesia. EXPERD diperkuat oleh para konsultan dan staf yang sangat berpengalaman dan memiliki komitmen penuh untuk berkontribusi pada perkembangan bisnis melalui layanan sumber daya manusia.

Baper

Kompas.com - 24/06/2023, 07:58 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

SEORANG teman adalah eksekutif sekaligus pemilik perusahaan yang sukses. Insting bisnisnya sangat kuat meskipun prestasi akademiknya dulu biasa saja. Namun, bila sudah berada dalam situasi pemecahan masalah, ia seolah bisa mengendus titik kelemahan dan mengambil keputusan yang tepat.

Ia sering mengaku memiliki indera keenam, peka terhadap perasaan, dan tahu apa yang dibutuhkan orang lain. Di sisi lain, ia mudah terbawa perasaan. Komentar yang mungkin biasa saja bagi orang lain, bisa saja membuatnya sulit tidur karena memikirkannya siang dan malam.

Teman-temannya kerap mengatakan ia terlalu berlebihan dalam menginterpretasikan suatu hal. Dalam pengukuran yang dilakukan Robert Hogan, ia tergolong memiliki interpersonal sensitivity yang tinggi.

Digabungkan dengan adjustment yang rendah, kita dapat melihat dia sebagai pribadi yang sering terbawa perasaan (baper) dalam situasi yang sebenarnya bisa saja dilihat dari sisi lain yang lebih obyektif. Ada juga yang menyebutnya sebagai orang berkuping tipis yang sulit mendengar masukan ataupun komentar negatif.

Pada 25 tahun yang lalu, gagasan tentang kepekaan tinggi menarik perhatian dunia ketika Dr Elaine Aron menerbitkan buku berjudul The Highly Sensitive Person. Di dalam buku ini, Aron menggambarkan bagaimana 20-30 persen dari populasi memproses informasi dari dalam dan lingkungan sekitar mereka secara mendalam.

Ia juga mengatakan, selain lebih mudah menjalin relasi dengan orang lain, individu yang memiliki kepekaan tinggi pun harus mengatasi salah satu tantangan akibat sering berpikir berlebihan, yakni menghabiskan energi mereka sendiri untuk hal-hal yang tidak perlu.

Plus–minus sensitivitas

Menjadi pribadi yang sensitif di tempat kerja sering kali terasa seperti pisau bermata dua. Rekan kerja mungkin menghargai sifat murah hati, kedalaman emosi, dan kehangatan kita. Di sisi lain, ketika menghadapi hal-hal yang menekan, seperti menerima umpan balik, emosi kita dapat bergerak tanpa kendali dan berubah secara tiba-tiba.

Kita mungkin bisa merasa hancur oleh kritik yang sebenarnya konstruktif bagi pengembangan diri. Di tempat kerja yang didominasi kekuatan dan kekuasaan, orang-orang yang sangat sensitif akan merasa lemah. Padahal, banyak juga bukti menunjukkan bahwa sensitivitas tinggi yang dimanfaatkan dalam dunia kerja dapat membuat kinerja justru lebih menonjol.

Eileen Rachman.Dok. EXPERD Eileen Rachman.

Ketika otomatisasi semakin mendominasi masyarakat kita, kebutuhan akan pekerja dengan intuisi, kreativitas, empati, dan semua keterampilan yang dilandasi rasa justru menjadi semakin besar.

Kemampuan-kemampuan tersebut belum bisa direproduksi oleh teknologi sampai saat ini. Kemampuan dalam mendalami perasaan tim kerja dapat menjadi alat ampuh untuk meningkatkan engagement. Pada akhirnya, hal ini akan berdampak positif pada produktivitas tim.

Menggunakan “rasa” secara lebih efektif

Bagaimana kita dapat memanfaatkan kepekaan mendalami rasa ini menjadi sebuah keunggulan?

Pertama, kita perlu menyadari kekuatan sekaligus kelemahan kepekaan yang dimiliki. Individu dengan kepekaan yang tinggi cenderung mudah terstimulasi dengan reaksi-reaksi orang lain. Mereka tidak hanya mendengar kata-kata yang keluar dari mulut, tetapi juga peka terhadap gerakan halus dan nada yang tidak terucapkan.

Di sinilah, kita perlu menjaga kesadaran kita dalam berkomunikasi, berusaha memeriksa kembali asumsi-asumsi yang belum tentu benar itu agar kita dapat melihat situasi dengan lebih obyektif. Tidak hanya terbawa perasaan sendiri saja.

Kedua, kita perlu belajar untuk menyampaikan “berita buruk” secara asertif. Kepekaan dalam melihat hal-hal yang mungkin tidak terasa oleh orang lain perlu ditindaklanjuti dengan langkah nyata untuk membenahinya. Dengan kepekaan yang tinggi, sering kali kita merasa ragu untuk berkomentar mengenai hal-hal yang tidak baik karena khawatir akan menyinggung perasaan orang lain.

Kalaupun berkomentar, sering kali kita berusaha untuk mengemas sedemikian rupa komentar yang kita berikan jangan sampai menyinggung perasaan orang lain. Padahal, tidak jarang hal ini malah membuat pesan yang disampaikan menjadi kurang jelas sehingga tujuan yang ingin dicapai tidak terealisasi.

Ketiga, ketika bekerja dengan tim, kepekaan dapat membantu kita untuk merasakan bila ada anggota tim yang tidak terlalu bersikap positif atau enggan terlibat karena alasan pribadi mereka. Dalam situasi ini, kita biasanya khawatir bila memaksa mereka dapat mengganggu hubungan dengan mereka.

Akan tetapi, di sini kita perlu memaksakan diri untuk tetap mendiskusikan hal ini dengan mereka. Sebab, target kerja tetap harus dicapai dan hasil terbaik hanya bisa didapatkan bila semua orang menghadirkan diri secara utuh untuk berkontribusi.

Keempat, dalam pemecahan masalah yang membutuhkan banyak fakta dan data dari berbagai pihak, seorang dengan sensitivitas tinggi dapat memberikan kontribusi yang cemerlang.

Mereka dapat menggali fakta dengan membuat orang lain untuk lebih terbuka memberikan pendapat, mendorong rekan yang belum berpartisipasi untuk lebih terlibat, menganalisis semua data, dan mengambil keputusan akhir.

Kelima, orang-orang yang sensitif biasanya sangat terhubung dengan dunia batinnya. Hal ini dapat mendorong ide-ide kreatif dan inovatif dari pengolahan memori-memori bawah sadar ketika ia harus mencari ide-ide baru dalam pemecahan masalah.

Tantangan bagi mereka yang memiliki kepekaan tinggi adalah menemukan cara untuk tetap menerobos hambatan perasaannya. Hambatan bisa kita persepsikan sebagai penghalang yang tak tergoyahkan. Namun, dengan mengubah mindset dan mengandalkan ketajaman perasaan, kita justru memiliki senjata tambahan dibandingkan dengan rekan lain yang memiliki kapasitas rata-rata dalam hal kepekaan.

Hal terpenting adalah bagaimana kita berlatih mengendalikan diri dalam interaksi yang bisa membuat emosi kita tidak terkontrol. Lagi-lagi, cara terbaik adalah berlatih secara teratur memperkuat kesadaran, hal-hal apa yang dapat memicu emosi, dan mempersiapkan respons yang tepat dalam kondisi emosi seperti itu.


komentar di artikel lainnya
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com