KELAPA sawit adalah salah satu komoditas strategis nasional. Industri sawit dalam dua dekade terakhir telah menjadi tulang punggung perekonomian nasional dalam konteks dalam negeri, bahkan dinilai sebagai sektor yang mendukung pertumbuhan ekonomi (pro-growth), pengentasan kemiskinan, dan penciptaan lapangan kerja.
Indonesia juga adalah negara produsen sekaligus eksportir minyak sawit terbesar di dunia. Menurut data dari Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI), tercatat pada 2022 produksi Crude Palm Oil (CPO) Indonesia adalah sebesar 46,729 juta ton.
Meskipun lebih rendah dari 2021 lalu, yaitu sebesar 46,888 juta ton, kontribusinya bagi perekonomian lewat konsumsi dalam negeri dan penggerak industri di sektor oleochemical, biodiesel, dan lain sebagainya menjadi bukti bahwa minyak sawit merupakan komoditas yang sangat penting.
Akan tetapi, berkembangnya tanaman yang menjadi primadona di Indonesia ini bukanlah tanpa masalah. Kelapa sawit faktanya memang merupakan dalang utama bagi setidaknya dua masalah dalam negeri: masalah lingkungan serta masalah sosial.
Dua masalah ini timbul akibat perluasan lahan dan deforestasi yang dilakukan oleh berbagai pelaku usaha sawit di dalam negeri.
Sebagai contoh, konflik Suku Awyu di Papua Selatan yang muncul akibat klaim lahan hutan adat oleh dua perusahaan industri sawit nasional.
Deforestasi tentunya berkontribusi pada kerusakan lingkungan di wilayah tersebut, serta klaim lahan yang merupakan hutan adat bagi masyarakat lokal tentunya menjadi masalah bagi kehidupan dan sumber mata pencaharian mereka.
Hal serupa juga telah banyak terjadi di daerah Pulau Kalimantan, dan menjadi contoh konkret efek samping dari upaya pertumbuhan ekonomi yang dilakukan oleh para pemilik modal.
Terkait dampak kerusakan lingkungan, dunia barat yang kini begitu getol menyuarakan berbagai isu terkait hal tersebut nampaknya mulai menjadikan ini sebagai salah satu fokus dalam kebijakan ekonominya.
Dengan mengintegrasikan isu lingkungan dengan kebijakan ekonomi, pada 6 Desember 2022 lalu, Uni Eropa secara resmi mengeluarkan regulasi baru bertajuk European Union Deforestation-free Regulation (EUDR) atas desakan asosiasi petani minyak nabati dan raksasa industri minyak nabati Uni Eropa serta LSM anti-sawit.
Regulasi ini disusun dengan tujuan menghentikan deforestasi yang terjadi di luar Uni Eropa, dengan menerapkan hambatan dagang terhadap tujuh komoditas yang dianggap berkontribusi terhadap deforestasi tersebut.
Kelapa sawit, kakao, kopi, karet dan lain-lain merupakan komoditas yang termasuk di dalamnya. Padahal, komoditas-komoditas tersebut, termasuk kelapa sawit, adalah salah satu penopang ekonomi dan penjaga keberlangsungan berbagai industri di Indonesia.
Uni Eropa mengatakan bahwa regulasi tersebut sebenarnya bermaksud baik dan berdampak positif bagi lingkungan.
Akan tetapi, setidaknya terdapat beberapa kelemahan yang menjadi bukti bahwa terdapat unsur diskriminasi atas nama isu lingkungan dalam regulasi ini, khususnya terhadap negara-negara berkembang yang mengandalkan komoditas tersebut sebagai penopang pertumbuhan ekonominya.