Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Suku Bunga The Fed Tinggi, Saham dan Obligasi Masih Layak Dikoleksi?

Kompas.com - 14/08/2023, 20:26 WIB
Kiki Safitri,
Yoga Sukmana

Tim Redaksi

JAKARTA, KOMPAS.com - Suku bunga acuan The Federal Reserve (The Fed) saat ini berada di level 5,25 - 5,5 persen, yang merupakan angka tertinggi sejak lebih dari dua dekade lalu.

Namun Co-Founder Tumbuh Makna Benny Sufami menilai sektor obligasi masih memiliki peluang profit ke depannya. Ia pun meyakini bahwa pasar obligasi akan naik dan itu merupakan kesempatan yang mesti dimanfaatkan oleh para investor.

Dia bilang ada kesempatan dan peluang untuk dimanfaatkan menjadi keuntungan, apalagi pertumbuhan ekonomi yang cukup terjaga.

Baca juga: IHSG Menguat di Awal Perdagangan, 186 Saham Hijau

Menurut Benny, masih ada peluang investasi yang sangat menarik, baik di pasar saham maupun obligasi, yang valuasinya juga masih sangat menarik.

“Kami masih melihat peluang investasi, khususnya di equity dan obligasi. Kami melihat ada ruang untuk Bank Indonesia di awal 2024 untuk menurunkan tingkat suku bunga. Kami ambil benchmark-nya, untuk surat utang negara (SUN) Seri 10 tahun, saat ini yield-nya berada pada posisi 6,3 persen dan kami melihat tahun depan itu bisa di posisi 6,1 persen,” kata Benny dalam siaran pers.

Benny menilai, situasi ekonomi global saat ini tidak memberikan tekanan yang signifikan bagi ekonomi domestik di Indonesia. Hal itu didapati karena fakta bahwa ekonomi nasional pada kuartal II sangat baik, khususnya angka PDB Indonesia yang berada di atas 5 persen dengan tren inflasi yang relatif stabil.

Baca juga: Wahana Inti Selaras Terbitkan Obligasi Rp 3 Triliun

“IMF menyatakan bahwa maksimal pertumbuhan ekonomi dunia hanya akan bertumbuh maksimal 3 persen, itu sudah cukup bagus bagi ekonomi domestik kita. Itu sudah cukup baik di tengah kondisi tekanan ekonomi global,” ungkap dia.

Namun, investor perlu lebih bersabar dengan instrumen tersebut, sebab pada semester I Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) stagnan, dan diperkirakan pada semester II-2023 IHSG akan lebih bergerak atraktif.

“Jadi di semester II, kami melihat peluang naiknya IHSG sangat terbuka. Yang pertama karena penurunan harga komoditas sudah terbatas. Kedua, karena adanya kegiatan domestik yang disinyalir akan meningkat, sebab KPU dan DPR hingga pemerintah sendiri sudah menyetujui budget Pemilu sekitar Rp 76 triliun,” ujar Benny.

Baca juga: Tak Sanggup Bayar Utang, Saham BUMN Waskita Karya Dibekukan

Sementara itu, Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira Adhinegara menjelaskan bahwa kenaikan suku bunga oleh bank sentral AS sangat jelas memiliki pengaruh bagi negara-negara berkembang.

Namun bagi Indonesia, kenaikan ini ternyata tidak memiliki pengaruh yang signifikan. Hal ini karena Indonesia tidak ikut menaikkan suku bunga. Beberapa hal yang menjadi pertimbangan, di antaranya kenaikan suku bunga secara agresif dapat berdampak pada pinjaman konsumen yang akan jauh lebih mahal, dan akan mengganggu pemulihan konsumsi domestik.

“Selain itu, banyak industri yang juga akan terpengaruh dengan kenaikan suku bunga tersebut. Ketika suku bunga negara maju seperti The Fed, biasanya kita juga melakukan hal yang sama, seperti yang dilakukan oleh Bank Indonesia (BI). Tapi kali ini berbeda, kenaikan suku bunga dari The Fed ternyata tidak diikuti oleh kenaikan suku bunga BI,” ungkap Bhima.

Baca juga: Divestasi Saham Vale Mundur, Jokowi Pastikan Tidak Ada Kendala

Menurut Bhima, roda ekonomi Indonesia lebih terhubung dengan pergerakan China ketimbang Amerika, sehingga kenaikan suku bunga The Fed tidak secara otomatis mengganggu pertumbuhan ekonomi Indonesia.

“Karena China adalah salah satu negara asal investasi yang terbesar, dan mitra investasi Indonesia. Kedua, mereka adalah mitra dagang. Kita ekspor ke China itu bisa seperempat dari total ekspor Indonesia, kira-kira sekitar 25 persen kita kirim ke China, dan itu tentu sangat mempengaruhi,” tuturnya.

Bhima menjelaskan, setiap satu persen penurunan ekonomi yang terjadi di AS, pengaruhnya ke Indonesia hanya 0,01 persen. Namun jika ekonomi China turun 1 persen saja dalam PDB mereka, maka imbas ke Indonesia bisa mencapai 0,3 persen.

Baca juga: Simak 10 Saham Paling Cuan dan Boncos Pekan Ini

“Jadi kita lebih sensitif dengan ekonomi Tiongkok. Sehingga kenaikan suku bunga AS belum tentu berdampak langsung ke capital market maupun surat utang di Indonesia, setidaknya dalam jangka waktu yang dekat,” tambahnya.

Meski fundamental ekonomi nasional kuat, Bhima menyatakan tahun depan Indonesia perlu mewaspadai gejolak ekonomi yang akan terjadi. Dia bilang, semester II-2023 dan 2024 akan banyak dinamika yang terjadi.

Baca juga: Menilik Peluang Investasi Obligasi

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.



Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com