Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Penggunaan Transportasi Publik Dinilai Jadi Solusi Jangka Pendek Atasi Polusi Udara di Jakarta

Kompas.com - 15/08/2023, 20:40 WIB
Yohana Artha Uly,
Akhdi Martin Pratama

Tim Redaksi

JAKARTA, KOMPAS.com - Polusi udara di Jakarta semakin memburuk beberapa hari belakangan. Kondisi tersebut dapat membuat masyarakat di Ibu Kota terpapar infeksi saluran pernapasan akut (ISPA).

Jakarta pun sempat beberapa kali berada pada peringkat pertama sebagai kota dengan udara terkotor di dunia versi Lembaga Air Quality Index (AQI).

Peneliti Energi dan Iklim dari Institute for Essential Services Reform (IESR) Shahnaz Nur Firdausi menilai, solusi jangka pendek dari penanganan polusi Jakarta adalah beralih ke penggunaan transportasi publik.

Semakin banyak masyarakat yang menggunakan transportasi publik maka semakin sedikit pula kendaraan pribadi yang menghasilkan polusi udara.

Baca juga: Polusi Udara Jakarta, Menhub Ajak Masyarakat Beralih ke Kendaraan Listrik

"Akan lebih signifikan mengurangi konsentrasi debu adalah penggunaan dari public transport," ujarnya dalam diskusi IESR di Jakarta, Selasa (15/8/2023).

Menurutnya, transportasi publik saat ini sudah cukup mudah untuk diakses masyarakat. Terlebih pemerintah telah melakukan banyak perbaikan pada berbagai moda transportasi di wilayah Jabodetabek untuk mendukung mobilitas masyarakat.

Upaya lain yang bisa mendukung turunnya tingkat polusi adalah para pekerja yang mendapatkan kesempatan untuk bekerja dari rumah atau work from home (WFH), bisa memanfaatkan momentum itu untuk tidak berkendara.

"Yang hybrid kerja juga bisa membantu dengan kondisi sebagian WFH dan WFO (work from office), sehingga akan mengurangi kepadatan (kendaraan di jalan)," kata Shahnaz.

Adapun dia menilai, memburuknya kualitas udara di Jakarta tak lepas dari fenomena street canyon, di mana udara terjebak di jalanan akibat gedung-gedung tinggi dan berdampak pada meningkatnya konsentrasi debu di jalan.

Baca juga: PLN Bantah PLTU Jadi Penyumbang Polusi Udara Jakarta

"Gedung-gedung tinggi menyebabkan udaranya itu ter-trap (terjebak) di jalanan kemudian enggak bisa kena angin dan akhirnya konsentrasi debu itu semakin meningkat di jalan," jelas dia.

Shahnaz menyebut, untuk jangka panjang, solusi penanganan polusi di Jakarta salah satunya yakni mendorong penggunaan kendaraan listrik. Lantaran, kendaraan listrik lebih ramah lingkungan ketimbang kendaraan berbahan bakar minyak (BBM).

Ia bilang, pemerintah saat ini sudah tepat telah menggalakkan penggunaan kendaraan listrik di lingkungan pemerintahan maupun masyarakat.

Namun, dia menekankan, kebijkan tersebut juga harus didukung dengan sumber listrik yang ramah lingkungan pula, yaitu yang berasal dari pembangkit energi baru terbarukan (EBT).

Maka dalam hal ini pemerintah harus mendorong percepatan transisi energi sehingga tak lagi mengandalkan pembangkit listrik berbasis bahan bakar fosil, seperti Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU).

"Sumber listrik kita sebagian besar masih dari PLTU. Penggunaan kendaraan listrik sebetulnya hal yang bai,k tapi kita harus sejalan dengan transisi energi di sektor PLTU-nya yang juga harus diganti dengan energi terbarukan," pungkas Shahnaz.

Adapun Jakarta menjadi kota kedua dengan kualitas udara terburuk sedunia pada Selasa (15/8/2023) pagi.

Mengutip situs pemantau kualitas udara IQAir, pukul 05.43 WIB, indeks kualitas udara di Ibu Kota berada di angka 165 AQI US.

Adapun konsentrasi polutan tertinggi dalam udara DKI hari ini PM 2.5. Angka konsentrasi itu, 16,4 kali nilai panduan kualitas udara tahunan World Health Organization (WHO).

Baca juga: Soal Wacana ASN WFH untuk Atasi Polusi, Kementerian PANRB: Kami Ikuti Aturan Pemprov DKI

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com