Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

MAMI: Siklus Kenaikan Suku Bunga The Fed Masuki Babak Akhir

Kompas.com - 15/08/2023, 17:40 WIB
Kiki Safitri,
Akhdi Martin Pratama

Tim Redaksi


JAKARTA, KOMPAS.com - PT Manulife Aset Manajemen Indonesia (MAMI) menilai, siklus kenaikan suku bunga The Fed memasuki babak akhir. Hal ini mengingat data inflasi AS yang semakin turun mendekati target inflasi 2 persen oleh The Fed.

Director & Chief Investment PT Manulife Aset Manajemen Indonesia (MAMI) Ezra Nazula mengatakan, inflasi yang menurun, upah yang meningkat, dan belanja kampanye diharapkan dapat mendorong konsumsi domestik lebih tinggi di sisa tahun ini.

Sementara itu, kondisi perekonomian Amerika Serikat (AS) yang resilien dan inflasi yang terus melandai menciptakan sentimen positif bagi pasar, menopang harapan terjadinya soft landing, dimana inflasi terus turun namun resesi dapat dihindari.

“Kondisi pasar global terlihat dengan adanya babak akhir dari siklus kenaikan suku bunga. Kalu dilihat AS sudah mendekati puncak kenaikan suku bunga, dan ekspektasinya akan melandai tahun depan, dan akan mengalami penurunan,” kata Ezra secara virtual, Selasa (15/8/2023).

Baca juga: Suku Bunga The Fed Tinggi, Saham dan Obligasi Masih Layak Dikoleksi?

Ezra menjelaskan, untuk mengatasi inflasi tinggi, sejak awal tahun 2022, bank sentral di kawasan negara maju telah melakukan pengetatan suku bunga paling agresif di era modern. Kabar baiknya, paruh kedua tahun ini diperkirakan akan menjadi babak akhir dari siklus kenaikan suku bunga seiring dengan inflasi yang kian melandai mendekati targetnya.

“Kita lihat angka inflasi di AS, Uni Eropa, dan Inggris yang pada akhir tahun 2022 sebesar 6,5 persen, 9,2 persen, dan 10,2 persen, kemudian pada akhir Juni 2023 telah turun tajam menjadi 3 persen, 5,5 persen, dan 7,9 persen secara berurutan,” lanjut dia.

Dia menjelaskan, terjadi dinamika tersendiri bagi perekonomian di AS dan juga Asia, khususnya China. Sementara itu, proyeksi pertumbuhan AS di tahun 2023 terus direvisi naik seiring data ekonomi yang resilien.

Produk domestik bruto (PDB) AS di kuartal dua tumbuh 2,4 persen, lebih tinggi dari ekspektasi (1,8 persen) dan PDB di kuartal satu (2 persen). Selain itu, indeks manajer pembelian (PMI) AS di sektor jasa konsisten berada di zona ekspansi dan sektor tenaga kerja juga tetap kuat.

Di sisi lain, ekonomi yang resilien memberi tantangan bagi bank sentral, karena inflasi lebih persisten dan suku bunga bertahan tinggi lebih lama. Lembaga pemeringkat Fitch Ratings pun menurunkan peringkat kredit AS dari AAA menjadi AA+. Hal ini disebabkan oleh penurunan yang berkelanjutan dalam standar tata kelola dan masalah plafon utang AS.

“Ekspektasinya suku bunga akan melandai di tahun depan, 2024 diperkirakan akan mengalami penurunan. Kita melihat angka-angka inflasi yang sebelumnya menjadi dasar kenaikan suku bunga sudah mereda dan mendekati targetnya,” lanjut Ezra.

Di sisi lain, kekhawatiran resesi yang mengancam AS juga perlahan mulai mereda. Hal ini menunjukkan bahwa pertumbuhan ekonomi tidak seburuk yang dikhawatirkan. Dengan inflasi yang turun, diharapkan soft landing yang akan terjadi akan menjadi poin positif bagi pasar global.

Baca juga: The Fed Kerek Suku Bunga Acuan, SBN Makin Menarik?

Berbeda dengan AS, proyeksi pertumbuhan ekonomi China justru terus direvisi turun sejak Mei 2023 seiring data ekonomi China yang lebih rendah dari ekspektasi. PDB kuartal dua China yang sebesar 6,3 persen lebih rendah dari ekspektasi 7,3 persen.

Selain itu, penjualan ritel hanya tumbuh 3,1 persen di bulan Juni 2023, PMI sektor manufaktur di zona kontraksi dan PMI sektor jasa juga terus melemah. Program stimulus pun menjadi harapan untuk menopang momentum pemulihan ekonomi China.

“Secara umum, kondisi inflasi dan kebijakan suku bunga di kawasan Asia relatif lebih kondusif dibandingkan di kawasan negara maju. Pada mayoritas negara Asia, inflasi telah mencapai target bank sentral dan inflasi terus menjinak, membuka ruang pemangkasan suku bunga,” ungkap Ezra.

Di sisi lain, selisih suku bunga dengan Fed Funds Rate yang menyempit menjadi faktor yang membatasi ruang gerak bank sentral kawasan Asia. Pelonggaran prematur dikhawatirkan dapat mempengaruhi stabilitas nilai tukar.

“Langkah kebijakan bank sentral Asia diperkirakan akan menunggu arah perubahan dari The Fed,” tegas Ezra.

Baca juga: Gubernur BI Prediksi The Fed Masih Akan Naikkan Suku Bunga 2 Kali Lagi

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com