Oleh: Frangky Selamat*
SAMBIL duduk santai dan menyeruput kopi Americano di kafe, seorang teman bercerita, mungkin lebih tepatnya berkeluh kesah mengenai koleganya yang seorang pejabat lembaga pendidikan.
“Dulu dia adalah teman saya, suka kerja bersama dalam tim. Dia memang pintar. Karena kemampuannya menjalin relasi dia kini menjadi pemimpin tertinggi di tempat kami. Selama yang saya kenal, dia orang yang baik.”
Dia menghela napas sejenak sambil kembali menyeruput kopi hitam di hadapannya.
“Dia kini berubah. Kurang menghargai pendapat rekannya, selalu menganggap diri paling bisa memberikan solusi, menganggap diri lebih paham segalanya. Pendek kata, dia berubah menjadi tinggi hati.”
Pemimpin yang tinggi hati meskipun pintar. Kurang lebih begitu gambaran yang diberikan teman itu.
Lawan yang sesuai adalah pemimpin rendah hati. Pemimpin yang menjalankan tugas dan wewenangnya dengan kerendahan hati.
Kepemimpinan yang pada dasarnya adalah kemampuan memengaruhi anggota atau bawahan agar dapat terlibat secara aktif selaras dengan pencapaian tujuan organisasi. Jika dibarengi dengan pemimpin yang rendah hati, maka niscaya akan memberikan dampak positif bagi organisasi.
Kerendahan hati pemimpin adalah karakteristik yang ditunjukkan dengan mengakui kesalahan dan keterbatasan, belajar dari orang lain dan mencontohkan kemampuan mengajar (Owens dan Hekman, 2012).
Masih banyak pihak yang menganggap bahwa rendah hati adalah indikasi orang yang pemalu, kurang berambisi dan kurang percaya diri. Namun kini pandangan itu mulai bergeser.
Vera dan Rodriguez-Lopez (2004) menganggap kerendahan hati sebagai kekuatan penting bagi para pemimpin dan organisasi yang memilikinya, dan merupakan kelemahan berbahaya bagi mereka yang tidak memilikinya.
Owens dan kawan-kawan (2013) mendefinisikan kerendahan hati sebagai karakteristik interpersonal yang berkonotasi dengan kesediaan untuk memandang diri sendiri secara akurat, apresiasi terhadap kekuatan dan kontribusi orang lain dan kemampuan mengajar, atau keterbukaan terhadap ide-ide baru dan umpan balik.
Selanjutnya ia mengategorikan tiga perilaku yang rendah hati: mengakui keterbatasan dan kesalahan, mengakui kekuatan dan kontribusi pengikut, dan memberikan teladan dalam kemampuan mengajar.
Pendek kata, kepemimpinan yang rendah hati berfokus pada proses perkembangan pemimpin itu sendiri. Ia bersikap transparan.
Gaya kepemimpinan yang menggunakan pendekatan dari bawah ke atas yang selalu mendengarkan, mengamati orang lain dan belajar sambil melakukan (learning by doing).