Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Abdul Nasir
Dosen

Dosen dan peneliti di Fakultas Ekonomi dan Bisnis di Universitas Jember

Mencerna Perubahan Perilaku Suku Bunga Acuan

Kompas.com - 14/11/2023, 13:30 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

SAAT ini, kita hidup di dunia di mana suku bunga tetap tinggi. Bank Indonesia (BI) memutuskan untuk menaikkan BI seven-day reverse repo rate (BI-7DRR) sebesar 25 basis poin menjadi 6 persen pada 19 Oktober setelah membiarkannya tidak berubah selama sembilan bulan.

Kebijakan moneter lebih ketat diterapkan di seluruh dunia, terutama untuk mengekang inflasi yang membandel.

Beberapa bank sentral besar memilih untuk mempertahankan suku bunganya yang sudah tinggi.

Federal Reserve (The Fed) Amerika Serikat memutuskan untuk mempertahankan suku bunga acuan tertingginya dalam 22 tahun pada kisaran 5,25 dan 5,5 persen pada pertemuannya 1 November, setelah menaikkannya sebanyak 11 kali untuk meredakan inflasi.

Bank of England (BoE) telah memilih mempertahankan suku bunga sebesar 5,25 persen, tingkat tertinggi sejak 2008, pada 2 November.

European Central Bank (ECB), dalam kebijakan terbarunya, memutuskan untuk mempertahankan suku bunga tidak berubah pada 4 persen, setelah kenaikan suku bunga 10 kali berturut-turut.

Langkah ini konsisten dengan buku teks kebijakan moneter mana pun. Ketika inflasi meningkat, bank sentral melawannya dengan menaikkan suku bunga kebijakan.

Kita dapat melihat orkestrasi yang tersinkronisasi baik di negara maju maupun negara berkembang. Bank sentral dilengkapi dengan mandat stabilitas harga.

Di sisi lain, meskipun berhasil mengendalikan inflasi, negara-negara berkembang didesak untuk mempertahankan perekonomiannya dari eksternalitas yang timbul akibat tindakan bank sentral lain.

Secara internasional, hal ini dapat mengganggu kemajuan perekonomian global.

Dana Moneter Internasional telah mengeluarkan perkiraan pertumbuhan global sebesar 3 persen pada tahun ini, lebih lambat dari proyeksi 3,5 persen pada 2022, dan akan sedikit turun menjadi 2,9 persen pada 2024.

Ada kalanya dunia mengalami pertumbuhan dua digit yang jauh lebih buruk, hiperinflasi. Sejak saat itu, kerangka kebijakan moneter telah berkembang ke arah yang lebih baik untuk menjaga perekonomian, antara lain melalui kerangka penargetan inflasi.

Namun, memang benar bahwa kita menghadapi tantangan di zaman kita sendiri. Krisis yang disebabkan oleh pandemi COVID-19 dan ketegangan geopolitik global tampaknya menjadi penyebab utama kenaikan harga saat ini.

Meskipun pembelajaran dari masa lalu merupakan hal yang bermanfaat, terdapat dinamika terkini yang harus diantisipasi dan kemudian dimitigasi dan pada akhirnya diselesaikan.

Jerome Powell dari The Fed, pada pertemuan Federal Open Market Committee (FOMC) pada 1 November, berbicara tentang bagaimana kemajuan perekonomian AS mengarah pada keputusan untuk mempertahankan tingkat suku bunga tetap stabil saat ini.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Jumlah Bandara Internasional Dipangkas, InJourney Airports: Banyak yang Tidak Efisien

Jumlah Bandara Internasional Dipangkas, InJourney Airports: Banyak yang Tidak Efisien

Whats New
Usai Gempa Garut, Pertamina Pastikan SPBU hingga Pangkalan Elpiji di Jabar Aman

Usai Gempa Garut, Pertamina Pastikan SPBU hingga Pangkalan Elpiji di Jabar Aman

Whats New
Kemenkop-UKM Tegaskan Tidak Melarang Warung Madura Beroperasi 24 Jam

Kemenkop-UKM Tegaskan Tidak Melarang Warung Madura Beroperasi 24 Jam

Whats New
BTN Buka Lowongan Kerja untuk Lulusan D3 dan S1, Simak Kualifikasinya

BTN Buka Lowongan Kerja untuk Lulusan D3 dan S1, Simak Kualifikasinya

Work Smart
Ada Gempa Garut, Kereta Cepat Whoosh Tetap Beroperasi Normal

Ada Gempa Garut, Kereta Cepat Whoosh Tetap Beroperasi Normal

Whats New
Akhirnya, Bea Cukai Bebaskan Bea Masuk Alat Belajar SLB yang Tertahan Sejak 2022

Akhirnya, Bea Cukai Bebaskan Bea Masuk Alat Belajar SLB yang Tertahan Sejak 2022

Whats New
Sri Mulyani Minta Ditjen Bea Cukai Perbaiki Layanan Usai 3 Keluhan Terkait Pelayanan Viral di Medsos

Sri Mulyani Minta Ditjen Bea Cukai Perbaiki Layanan Usai 3 Keluhan Terkait Pelayanan Viral di Medsos

Whats New
Menuju Indonesia Emas 2045, Pelaku Usaha Butuh Solusi Manajemen SDM yang Terdigitalisasi

Menuju Indonesia Emas 2045, Pelaku Usaha Butuh Solusi Manajemen SDM yang Terdigitalisasi

Whats New
Jadi Sorotan, Ini 3 Keluhan Warganet soal Bea Cukai yang Viral Pekan Ini

Jadi Sorotan, Ini 3 Keluhan Warganet soal Bea Cukai yang Viral Pekan Ini

Whats New
Perhitungan Lengkap Versi Bea Cukai soal Tagihan Rp 31 Juta ke Pembeli Sepatu Seharga Rp 10 Juta

Perhitungan Lengkap Versi Bea Cukai soal Tagihan Rp 31 Juta ke Pembeli Sepatu Seharga Rp 10 Juta

Whats New
Berapa Gaji dan Tunjangan Pegawai Bea Cukai Kemenkeu?

Berapa Gaji dan Tunjangan Pegawai Bea Cukai Kemenkeu?

Work Smart
Dukung 'Green Building', Mitsubishi Electric Komitmen Tingkatkan TKDN Produknya

Dukung "Green Building", Mitsubishi Electric Komitmen Tingkatkan TKDN Produknya

Whats New
Kemenhub Cabut Status 17 Bandara Internasional, Ini Alasannya

Kemenhub Cabut Status 17 Bandara Internasional, Ini Alasannya

Whats New
Kinerja Pegawai Bea Cukai 'Dirujak' Netizen, Ini Respon Sri Mulyani

Kinerja Pegawai Bea Cukai "Dirujak" Netizen, Ini Respon Sri Mulyani

Whats New
Pembatasan Impor Barang Elektronik Dinilai Bisa Dorong Pemasok Buka Pabrik di RI

Pembatasan Impor Barang Elektronik Dinilai Bisa Dorong Pemasok Buka Pabrik di RI

Whats New
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com