Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Pertumbuhan Versus Stabilitas

Muara dari rancangan undang-undang dan kebijakan bank sentral tersebut adalah mendorong momentum pertumbuhan ekonomi dengan upaya perbaikan iklim investasi dan tenaga kerja.

Namun demikian, target pertumbuhan ke depan tentunya tidak akan berhasil tanpa peran sentral sektor jasa keuangan dalam memfasilitasi kebutuhan pembiayaan pemerintah maupun sektor swasta.

Dalam beberapa tahun terakhir, kontribusi sektor jasa keuangan terhadap perekonomian semakin meningkat. Pada tahun 2019, total aset industri jasa keuangan mencapai 71 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB) nasional, meningkat di atas 10 persen dalam satu dasawarsa terakhir.

Kondisi ini didukung dengan kinerja intermediasi sektor jasa keuangan yang positif, profitabilitas yang stabil, dan profil risiko yang terkendali.

Industri jasa keuangan terbukti mampu melewati sejumlah tantangan besar, seperti penurunan harga komoditas global pada tahun 2015-2016 dan perang dagang antara Amerika Serikat dan China yang mengerucut di tahun 2019.

Pada tahun 2019 tingkat pertumbuhan PDB nasional tercatat di level 5,02 persen year-on-year (yoy), terendah dalam empat tahun terakhir.

Namun, penyaluran pembiayaan untuk mendukung ekonomi masyarakat kecil justru tumbuh signifikan, tercermin dari pertumbuhan pembiayaan industri pergadaian dan teknologi finansial masing-masing sebesar 23,32 persen yoy dan 160,84 persen yoy.

Hal itu melengkapi pembiayaan lembaga keuangan lainnya yang tumbuh moderat seperti perbankan dan perusahaan pembiayaan, masing-masing sebesar 6,08 persen yoy dan 3,67 persen yoy.

Kinerja positif pertumbuhan maupun ketahanan sektor jasa keuangan juga terkonfirmasi dari hasil asesmen lembaga internasional.

Dana Moneter Internasional (IMF) melalui Article IV Consultation 2019 memberikan apresiasi upaya yang telah dilakukan oleh otoritas keuangan untuk memperkuat kerangka pengawasan industri jasa keuangan dan manajemen krisis di Indonesia sesuai dengan rekomendasi IMF.

Sejalan dengan ini, lembaga pemeringkat internasional seperti Standard and Poor’s, Moody’s, dan Fitch dalam dua tahun terakhir juga menyatakan bahwa industri perbankan dengan porsi aset terbesar di sektor jasa keuangan, memiliki ketahanan yang tinggi sehingga mampu bertahan dalam kondisi goncangan yang signifikan.

Namun demikian, di tengah apresiasi pihak eksternal terhadap kinerja sektor jasa keuangan, terjadi perdebatan antara pertumbuhan versus stabilitas. Berbagai diskusi muncul mengenai kebijakan yang seharusnya diterapkan saat ini, yaitu menjaga stabilitas sistem keuangan atau mendorong pertumbuhan ekonomi.

Padahal, pada praktiknya stabilitas dan pertumbuhan merupakan two sides of the same coin, sehingga kebijakan untuk memastikan kedua kondisi tersebut dapat dilakukan secara simultan.

Kebijakan untuk mendorong pertumbuhan melalui pengembangan pasar dan produk keuangan, tidak harus mengorbankan stabilitas sistem keuangan. Sebaliknya, strategi untuk menjaga stabilitas tidak harus menurunkan kontribusi sektor jasa keuangan terhadap pertumbuhan yang berkelanjutan.

Tantangannya adalah, bagaimana menjaga keseimbangan antara pertumbuhan dan stabilitas agar dapat berjalan bersama-sama.

Saat ini, tingkat pertumbuhan ekonomi Indonesia berada dalam posisi tiga besar di kelompok 20 negara utama di dunia (G-20), hanya di bawah India dan China. Namun demikian, untuk keluar menjadi negara maju dengan PDB sebesar Rp 320 juta per kapita pada tahun 2045, pertumbuhan PDB yang stabil pada level 5 persen yoy tidaklah cukup.

Setali tiga uang, tingkat kedalaman pasar keuangan domestik juga masih rendah, sehingga menempatkan daya saing sektor keuangan Indonesia pada peringkat 58 dari 141 negara di dunia.

Oleh karena itu, diperlukan bauran kebijakan yang bersifat pro-growth, pro-job, pro-poor, pro-equity, dan pro-environment untuk mengeluarkan Indonesia dari 5 persen  growth trap.

Sinkronisasi kebijakan menjadi prioritas utama bagi pemerintah, bank sentral, dan otoritas keuangan dalam rangka mendukung stabilitas maupun pertumbuhan ekonomi. Bauran kebijakan fiskal, moneter, dan sektor keuangan dilakukan secara terkoordinasi untuk mencapai tujuan yang sama.

Sebagaimana amanat Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2016 tentang Pencegahan dan Penanganan Krisis Sistem Keuangan, pemerintah dalam hal ini Kementerian Keuangan, Otoritas Jasa Keuangan (OJK), Bank Indonesia, dan Lembaga Penjamin Simpanan melaksanakan rapat berkala Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK) untuk mengkoordinasikan bauran kebijakan antara lembaga.

Dalam beberapa tahun terakhir, sinergi kebijakan tersebut telah menjaga ketahanan sistem keuangan dan pertumbuhan ekonomi, antara lain tercermin dari defisit anggaran yang terkendali, inflasi dan nilai tukar rupiah yang stabil, dan profil risiko industri jasa keuangan yang memadai secara keseluruhan.

Akhirnya, tujuan bernegara sebagaimana dituangkan dalam Undang-Undang Dasar 1945 untuk memajukan kesejahteraan umum hanya akan tercapai melalui sinergi seluruh kebijakan lembaga terkait.

Perahu akan sulit menuju ke tempat tujuan, apabila dayungnya bergerak ke arah yang berbeda-beda.

Kebijakan fiskal dan moneter membutuhkan dukungan kebijakan sektoral yang selaras, dan sebaliknya.

Hasil studi empiris oleh Adrian et al. (2019) yang dipublikasikan di jurnal American Economic Review tentang kerentanan pertumbuhan PDB menunjukkan, prioritas kebijakan untuk mendukung stabilitas sistem keuangan hanya diperlukan saat menghadapi kondisi krisis keuangan atau resesi ekonomi. Dua peristiwa yang tidak dialami oleh Indonesia saat ini.

(Tulisan ini merupakan opini pribadi dan bukan merupakan sikap resmi lembaga)

https://money.kompas.com/read/2020/03/11/064000926/pertumbuhan-versus-stabilitas

Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke