JAKARTA, KOMPAS.com - Asosiasi Serikat Pekerja Indonesia (Aspek Indonesia) memberikan beberapa catatan penting terhadap rencana pemerintah terkait penyaluran subsidi gaji sebesar Rp 600.000 per bulan.
Subsidi gaji ini diberikan kepada 15,8 juta pekerja non-ASN dan non-BUMN yang terdampak Covid-19.
Aspek Indonesia meminta agar program bantuan tunai langsung (BLT) tersebut tepat sasaran dan bukan sekedar basa-basi.
Pertama, pemerintah diminta jangan hanya terfokus pada data pekerja yang terdaftar sebagai peserta BPJS Ketenagakerjaan.
Alasannya, karena masih banyak perusahaan yang tidak mendaftarkan pekerjanya sebagai peserta BPJS Ketenagakerjaan.
"Kondisi ini masih terjadi di banyak perusahaan. Antara lain, di perusahaan yang mempekerjakan pekerja kontrak dan outsourcing yang melanggar Undang-Undang Ketenagakerjaan. Modusnya, manajemen hanya mendaftarkan sebagian pekerjanya sebagai peserta BPJS Ketenagakerjaan atau tidak melaporkan gaji pekerja sesuai kenyataan," ujar Presiden Asosiasi Serikat Pekerja Indonesia Mirah Sumirat melalui keterangan tertulis, Rabu (12/8/2020).
Adapun solusinya, lanjut Mirah, pemerintah harus melibatkan serikat pekerja baik di tingkat perusahaan maupun di tingkat federasi/konfederasi, untuk melakukan pendataan pekerja. Termasuk melibatkan Dinas Tenaga Kerja di tingkat provinsi/kabupaten/kota.
"Solusi lain untuk pendataan pekerja calon penerima BLT juga bisa diambil dari data peserta BPJS Kesehatan, khususnya peserta yang berstatus penerima bantuan iuran (PBI)," usulnya.
Pemerintah juga diharapkan agar tidak bertindak diskriminasi untuk pekerja di BUMN. Menurutnya, pekerja BUMN juga mempunyai hak yang sama untuk bisa mendapatkan subsidi gaji ini.
"Alasannya karena di lingkungan BUMN, termasuk di banyak anak perusahaan dan cucu perusahaan BUMN, masih banyak yang mempekerjakan pekerja kontrak dan outsourcing. Upah pekerjanya diduga hanya sebatas upah minimum atau di bawah Rp 5 juta," katanya.
Di sisi lain, lanjut dia, pemerintah juga harus mencermati dan mengambil tindakan tegas atas praktek eksploitasi kerja berkedok pemagangan. Sebab, tenaga magang banyak dipakai di perusahaan dan tidak terlindungi hak-hak kesejahteraannya.
"Selain harus memberikan jaminan kepastian hubungan kerja dan hak normatif, maka terhadap tenaga kerja magang tersebut juga berhak atas BLT dimaksud," ujarnya.
Mirah pun kembali mengusulkan, dari alokasi dana Rp 700 triliun untuk penanggulangan Covid-19 maka dana sebesar Rp 31 triliun untuk BLT bagi pekerja sebaiknya ditambah, baik dari jumlah nominal per bulan maupun dari jangka waktu pemberian BLT.
"Alasannya untuk dapat meningkatkan daya beli pekerja di masa pandemi Covid-19. Beban hidup masyarakat semakin berat akibat kenaikan tarif listrik, kenaikan iuran BPJS Kesehatan, kenaikan harga kebutuhan pokok termasuk biaya kuota internet untuk program pembelajaran jarak jauh," ujarnya.
Selain itu, Mirah Sumirat juga menegaskan perlunya memaksimalkan fungsi pengawasan di Kementerian Ketenagakerjaan, termasuk di tingkat provinsi/kabupaten dan kota. Juga memaksimalkan peran Lembaga Kerja Sama Tripartit sebagai "desk pengaduan" bagi pekerja.
https://money.kompas.com/read/2020/08/12/200700826/asosiasi-pekerja-ingatkan-pemerintah-soal-data-hingga-usulan-tambahan-subsidi