Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Daya Beli Masyarakat Miskin Tertekan, Pemerintah Diminta Tingkatkan Efisiensi Penyaluran Bansos

Beberapa penyaluran tersebut antara lain Bantuan Langsung Tunai (BLT), Transfer Daerah, dan Dana Desa.

Ekonom Bahana Sekuritas Putera Satria Sambijantoro mengatakan, efisiensi diperlukan untuk menjaga daya beli masyarakat yang berpendapatan rendah. Pasalnya, daya beli masyarakat berpendapatan rendah ini masih di bawah tekanan.

"Ini menggarisbawahi pentingnya pemerintah meningkatkan efisiensi dalam penyaluran Bantuan Langsung Tunai (BLT), Transfer Daerah, dan Dana Desa untuk menjaga daya beli masyarakat berpendapatan rendah," kata Satria dalam laporannya, Sabtu (27/2/2021).

Tercatat, tingkat kemiskinan RI naik ke level tertinggi selama dua tahun, di angka 10,19 persen pada September 2020. Angkanya melesat dibandingkan dengan 9,22 persen pada tahun sebelumnya.

Artinya, dalam setahun, ada sekitar 2,76 juta orang Indonesia yang jatuh kembali ke garis kemiskinan, yaitu mereka yang berpenghasilan Rp 458.947 (32,5 dollar AS) setiap bulan.

Ukuran antara garis kemiskinan dan pengeluaran rata-rata orang di bawah garis itu, melonjak menjadi 2,39 pada September 2020 dari 2.11 tahun sebelumnya.

"Hilangnya pendapatan dan pekerjaan juga lebih banyak dirasakan di kota daripada di desa, dengan angka kemiskinan perkotaan naik menjadi 1,32 poin, dibandingkan dengan 0,6 poin lonjakan tingkat kemiskinan desa," ucap Satria.

Satria menyebut, melebarnya disparitas pendapatan bisa berpengaruh pada pemulihan ekonomi berbentuk K (K-shape). Hanya 39,5 persen pekerja formal dari total angkatan kerja yang memiliki jaminan kerja relatif aman dari dampak negatif Covid-19.

Masyarakat yang lebih kaya, diuntungkan oleh kebijakan moneter longgar yang menaikkan harga aset. Dikombinasikan dengan budaya bekerja dari rumah, membuat krisis ekonomi akibat Covid-19 hampir tidak dirasakan oleh masyarakat yang lebih kaya.

Disparitas terlihat dari koefisien Gini Indonesia yang naik ke level tertinggi dalam dua tahun di level 0,385 pada September 2020 dari 0,380 setahun sebelumnya.

"Ini unik dalam artian, setiap krisis keuangan secara historis diikuti oleh penurunan tingkat koefisien Gini. Krisis keuangan Asia terakhir misalnya, menyeret tingkat koefisien Gini Indonesia dari 0,311 menjadi 0,286 antara 1999 dan 2000," ujar Satria.

Lantas, apakah kenaikan harga komoditas bisa meningkatkan daya beli masyarakat?

Beberapa komoditas utama Indonesia memang mengalami kenaikan harga dua digit selama 1 tahun terakhir. Sayangnya statistik menunjukkan, hanya sedikit pengaruhnya terhadap daya beli.

Hingga September 2020, jumlah penduduk miskin di Sumatera yang notabene merupakan penghasil utama minyak sawit, meningkat sebesar 5,09 persen (yoy).

Faktanya, data Badan Pusat Statistik menunjukkan, 5 provinsi penghasil kelapa sawit terbesar di Indonesia melaporkan penurunan pertumbuhan upah riil, yang menunjukkan masih rendahnya penyerapan tenaga kerja.

Beberapa wilayah yang mengalami penurunan pertumbuhan upah riil, diantaranya Riau -4,35 persen (yoy), Sumatera Utara -3,45 persen (yoy), Sumatera Selatan -3,20 persen, Kalimantan Tengah -2,57 persen, dan Kalimantan Barat -5,28 persen.

Angka yang ditampilkan BPS juga searah dengan data Bank Indonesia terkini yang melaporkan hanya ada sedikit perubahan pada penjualan eceran dan harga properti di daerah penghasil komoditas, Sumatera dan Kalimantan.

"Tentu saja, akan ada kelambanan dari harga komoditas yang lebih tinggi ke daya beli, tetapi kami memperkirakan penerusan ke konsumsi rumah tangga mungkin membutuhkan waktu lebih lama dari biasanya karena pandemi Covid-19 terus mengurangi kepercayaan konsumen," pungkas Satria.

https://money.kompas.com/read/2021/02/27/101300926/daya-beli-masyarakat-miskin-tertekan-pemerintah-diminta-tingkatkan-efisiensi

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke