Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Berebut Renyahnya Pasar Milenial, Ramai-ramai Jadi Bank Digital

Hasil Sensus Penduduk 2020 BPS menunjukan jumlah generasi milenial mencapai 69,38 juta atau sekitar 25,87 persen dari total penduduk Indonesia. Hanya kalah oleh generasi Z yang kelahiran 1997-2021 yang mencapai 75,49 juta jiwa atau 27,94 persen.

Memang generasi muda akan menjadi bonus demografi yang akan mencapai puncaknya pada 2030. Dengan komposisi generasi milenial dan generasi Z yang mencapai usia produktif, maka lebih dari separuh penduduk Indonesia merupakan usia produktif. Bisa dibayangkan besarnya potensi pasar generasi muda Indonesia ini.

Karakteristik generasi muda yang digital savy alias nyaman dengan teknologi tentu membuat industri dalam hal ini perbankan harus ikut menyesuaikan diri supaya bisa tidak ketinggalan.
Laporan HootSuite, yang bertajuk "Digital 2021”, menunjukkan hal tersebut. Dalam laporan itu disebutkan bahwa, pengguna internet di Indonesia pada awal 2021 mencapai 202,6 juta jiwa, naik 15,5 persen atau 27 juta jiwa jika dibandingkan pada Januari 2020 lalu. Dari jumlah tersebut, pengguna internet Indonesia (usia 16 hingga 64 tahun) yang memiliki telepon seluler (ponsel) mencapai 98,3 persen.

Adanya pandemi Covid-19, memang mendorong percepatan transformasi digital di masyarakat dan industri. Berbagai kebijakan untuk mencegah penularan virus corona ini menjadi katalis pesatnya pertumbuhan transaksi yang dilakukan secara digital. Mulai dari belanja daring hingga aktivitas keuangan secara digital tahun lalu menunjukan lonjakan.

Saat lapar, kita tinggal buka aplikasi di ponsel untuk memesan makanan. Saat membayar tak perlu jauh-jauh ke bank atau ATM, tingga buka ponsel, transaksi pun terjadi. Praktis, cepat, dan nyaman!

Kepala Eksekutif Pengawas Perbankan OJK Heru Kristiyana mengatakan, terdapat pergeseran perilaku nasabah dari datang ke bank menjadi ingin dilayani secara digital. “Di masa pandemi orang kan tidak mau melakukan transaksi-transaksi tatap muka, atau datang ke bank hanya untuk sekedar transfer dana atau buka rekening,” ucap dia mengutip diskusi yang digelar CNBC Indonesia pertengahan pekan lalu.

Dengan demikian, mau tidak mau perbakan harus siap. Menyediakan kebutuhan nasabahnya dengan layanan digital. “Kalau bank tidak mau move on, siap-siap saja ditinggalkan para nasabah,” cetus Heru.

Bank digital

Bak gayung bersambut, bank-bank pun bergerak untuk memenuhi kebutuhan nasabah dengan layanan digital. Indonesia bersiap menghadapi era bank digital atau neobank.
Menurut Heru dari 107 bank umum, bank-bank besar telah mentransformasi diri supaya bisa memberikan layanan digital. Selain itu, beberapa bank kelas menengah-kecil yang sudah meminta izin untuk berikan layanan digital. Dia mencontohkan antara lain Bank Jago dan Bank Digital BCA.

Era neobank akan memberikan semua layanan secara online dan tidak mengandalkan kantor cabang fisik. Nasabah cukup menggunakan ponsel dan koneksi internet untuk membuka rekening atau mengakses layanan keuangan lainnya.

Hal tersebut tentu berbeda dengan digitalisasi bank, semisal mobile banking, karena pihak bank masih mempunyai dan mengandalkan kantor cabang.

Di Indonesia hadirnya bank digital bisa dikatakan melalui dua pola.

Pertama, bank melakukan transformasi model, strategi, dan produk bisnis. Bank dengan pola ini misalanya Jenius (BTPN), digibank (DBS Indonesia), Wokee (Bukopin), hingga Nyala (OCBC NISP).

Kedua, bank yang sejak awal dibentuk sebagai bank digital. Untuk pola ini, setidaknya ada 3 bank yang bersiap melayani masyarakat tahun ini, yakni Bank Digital BCA, Bank Neo Commerce, dan Bank Jago. Ketiga bank ini pun langsung membidik milenial sebagai pangsa pasar mereka.

Presiden Direktur BCA Jahja Setiaatmadja memastikan, layanan bank digital yang merupakan konversi dari PT Bank Royal Indonesia itu, akan diluncurkan selambat-lambatnya pertengahan tahun ini.

Jahja menyebutkan, layanan bank digital tersebut akan melengkapi layanan perbankan BCA yang saat ini telah dioperasikan, sehingga dapat menyentuh berbagai kalangan nasabah.

“Tetapi kita lebih expect bahwa yang milenial ini akan masuk menjadi nasabah daripada digital bank ini,” ucap Jahja.

Senada, Dirut Neo Commerce Thandra Gunawan mengakui besarnya jumlah penduduk milenial Indonesia menjadi salah satu pertimbangan pihaknya untuk menjadi bank digital.
“Generasi milenial, young generation menurut catatan saya ada 65 persen dari total populasi penduduk Indonesia. kami meliha ada kesempatan dan ada kebutuhan,”ucap Tjandra pada kesempatan yang sama.

Bank Neo Commerce sendiri merupakan nama baru dari Bank Yudha Bhakti setelah startup teknologi finansial (fintech) Akulaku menjadi pemegang saham terbesar pada pertengahan tahun lalu. Asal tahu saja, salah satu pemegang saham Akulaku adalah Alipay, yang merupakan bagian dari raksasa keuangan digital asal China, Ant Group Financial.

Sementara Direktur Utama Bank Jago Kharim Indra Gupta Siregar menyebutkan, pihaknya menargetkan masyarakat yang kesehariannya memang berinteraksi dengan ekosistem digital. Tentunya untuk berinteraksi dalam ekosistem digital memerlukan setidaknya media, dalam hal ini ponsel atau pun laptop.

“Bank jago lebih menempatkan kepada technology base bank. Mengapa? Karena teknologi sudah menguasai keseharian konsumen-konsumen kita,” ucap dia.

Mantan Direktur IT BTPN ini menyebut, pihaknya melihat adanya pergerakan luar biasa nasabah dengan perbankan. “Kalau dulu nasabah itu datang ke bank, sekarang ini sudah tidak lagi, karena kesehariannya itu sudah memakai aplikasi mobile,” tutur dia.

“Oleh karena itu untuk tetap relevan dan bisa memberikan layanan yang terbaik kepada konsumen, maka kami harus mengubah cara layanan kami juga,” tambah Kharim.

Bank Jago sendiri merupakan titisan dari Bank Artos setelah mantan Direktur Utama Bank BTPN Jerry Ng dan pendiri Northstar Group Patrick Walujo memborong 51 persen saham berkode ARTO itu. Bank Jago telah menerbitkan saham baru atau right issue sekitar Rp 1,34 triliun untuk pengembangan infrastruktur, teknologi informasi, sumber daya manusia, serta perbaikan struktur permodalan.

Wajah digital Bank jago makin terlihat seiring masuknya Gojek. Melalui layanan keuangan digital GoPay, decacorn tersebut telah membeli 22 persen saham Bank Jago.

Kompetisi

Sama-sama mengincar milenial sebagai pasar, tentu membuat para neobank itu harus mengerahkan kemampuan terbaik mereka. Daya saing bank digital akan ditentukan setidaknya oleh tiga hal, dukungan pemegang saham pengendali, manajemen yang kompeten , dan model bisnis.

Dukungan pemegang saham, tentu penting terkait komitmen permodalan dan konsistensi dalam pengembangan bisnis sangat diperlukan dalam menggarap bank digital. Pelayanan digital dengan kentalnya faktor teknologi memerlukan modal yang tidak sedikit. Hal ini pun ditegaskan oleh OJK.

“Seperti saya contohkan, Bank Jago itu walaupun aturan modal inti kita Rp 3 triliun tetapi mereka sudah siapkan sampai Rp 7 trilun. Karena memang kesiapan untuk mentransformasikan diri menjadi bank digital itu memang butuh permodalana yang cukup kuat, karena untuk melayani teknologi itu memerlukan modal yang cukup kuat dan SDM-SDM yang handal,”papar Heru.

Di belakang Bank Jago selain duo banker senior Jerry Ng dan Patrick Waluyo, ada juga decacorn Gojek dan GIC Private Limited (kendaraan investasi BUMN Singapura). Jerry Ng mengendalikan Bank Jago melalui Metamorfosis Indonesia. Patrick adalah founder Northstar Group yang dinilai visioner dan memiliki naluri tajam dalam berinvestasi.

Sementara Bank Digital BCA, dengan 100 persen sahamnya dimiliki BCA tentu mengandalkan bank milik grup Djarum itu. Adapun Bank Neo Commerce akan berharap pada Akulaku.

Dari sisi manajemen, kompetensi pengelola bank tentu menjadi salah satu faktor penentu. Kompetensi pengurus bank digital akan tecermin dalam menjalankan bisnisnya. Bank digital tidak melulu soal teknologi, tetap juga way of working, pola pikir para pekerjanya, kecepatan mengambil keputusan, dan keberanian berinovasi.

Manajemen Bank Jago boleh dibilang dihuni para banker mumpuni dengan rekam jejak kuat. Founder Bank Jago Jerry Ng misalnya. Bersama Kharim yang sekarang menjadi Dirut Bank Jago, membawa BTPN menjadi salah satu pionir digital banking, dengan Jenius-nya. Jerry Ng merupakan banker kawakan yang sudah malang melintang di dunia perbankan Indonesia lebih dari 30 tahun.

Sementara amunisi Bank Neo Commerce untuk memperkuat bisnis pelayanan digital mereka adalah dengan menambah direksi, Mereka mengangkat Aditya Wahyu Windarwo sebagai Direktur Bisnis BNC.

Dirut BNC Tjandra Gunawan menyebut, kehadiran direksi baru dibutuhkan untuk memperkuat kesiapan BNC yang terus bertransformasi menjadi bank digital. Aditya merupakan praktisi perbankan senior dengan pengalaman hampir 20 tahun dalam sektor keuangan dan perbankan terutama di lini manajemen produk, investasi, retail, serta empat tahun berkecimpung sebagai kepala divisi digital.

Adapun Bank Digital BCA sendiri masih terus mempersiapkan diri untuk meluncur pada semester I 2021 ini.

Faktor kunci lain untuk bersaing adalah model bisnis. Mengaca pada perkembangan bank digital di negara lain, neobank yang mengadopsi teknologi mutakhir, melayani nasabah dengan pendekatan omnichannel, dan tertanam dalam ekosistem berpeluang besar menjadi pemimpin pasar. Bagaimana dengan Indonesia?

Dirut Bank Neo Commerce Tjandra Gunawan menyebut, pihaknya mengandalkan pelangaan pemegang saham pengendalinya yakni Akulaku. Dia menilai basis pelanggan Akulaku cukup kuat bagi perseroan untuk mengembangkan bisnis periode awal.

"Ekosistem kami adalah Alibaba melalui Akulaku yang sudah memiliki 6 juta sampai 7 juta pelanggan di e-commerce, peer to peer landing, dan finance," sebut dia.

Meski demikian, Tjandra mengungkapkan pihaknya tidak akan hanya bergantung pada Akulaku, tetapi juga membuka peluang kerja sama dengan berbagai pelaku teknologi. "Tujuan kami adalah UMKM, itu adalah segmen kredit kami," ucapnya.

Sementara Dirut BCA Jahja Setiatmaja menyatakan, Bank Digital BCA pada tahap awal akan berfokus pada pendanaan dan pembayaran (funding and payment). Setelah itu, baru akan memasuki layanan peminjaman atau funding.

Namun Jahja mengakui, pihaknya masih akan mempelajari lebih lanjut mengenai mekanisme penyaluran peminjaman layanan BCA digital. Pasalnya, bank digital nantinya akan memiliki aturan berbeda dengan financial technology (fintech), yang notabenenya merupakan bagian dari industri keuangan nonbank. “Namanya bank beda dengan (fintech) peer to peer,” ucapnya.

Adapun bagi founder Bank Jago Jerry Ng, faktor penting dalam bank digital adalah kemampuan untuk menghadirkan bisnis model yang unik. Tidak bisa apa adanya dan tidak sekadar copy paste dari bisnis model yang ada.

Dia menuturkan, model bisnis Bank Jago mengadopsi model bisnis digital di AS, Eropa, dan Asia seperti China dan Korea Selatan. Model bisnis ini kemudian dibalut dengan keunikan yang ingin ditonjolkan Bank Jago.

Di Eropa dan AS, model bisnis yang ditonjolkan lebih banyak mengenai life centric, sehingga berbagai platform digital di negara maju itu dilengkapi dengan desain user interface dan user experience (UI/UX) yang sama canggih.

Adapun model bisnis di China dan Korea lebih mengacu pada penggabungan ekosistem sehingga mampu tumbuh lebih cepat. Keunggulan dari masing-masing model bisnis ini sebut Jerry, yang akhirnya diadopsi Bank Jago.

"Saya juga belajar banyak waktu launch Jenius (BTPN) from nothing. Kita fokus di life centric solution, tetapi kerja sama dan berkolaborasi dengan ekosistem," ucap dia beberapa waktu lalu.

Dirut Bank Jago Kharim Indra Gupta Siregar menambahkan, keunikan bisnis model dan konsistensi menjadi faktor utama untuk bisa berkompetisi di era neobank.

“Keunikan sekaligus kekuatan Bank Jago terletak pada dua hal, technology base adopsi teknologi dan kemampuan untuk tertanam dalam ekosistem. Milenial itu life style. Jadi kita sekarang sudah pindah dari costumer centic, jadi life focus, apa yang relevan terhadap kehidupan costumer,” papar dia.

Nah akan menarik menunggu inovasi-inovasi para neobank ini. Dan tentunya pada akhirnya semua itu akan memanjakan masyarakat terutama para nasabah dalam beraktivitas.

https://money.kompas.com/read/2021/04/11/150900126/berebut-renyahnya-pasar-milenial-ramai-ramai-jadi-bank-digital

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke