Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Mari Mengawal Kebijakan PPN di RUU KUP

Kehebohan seharusnya tidak perlu terjadi kalau saja transparansi dan sosialisasi dikedepankan dan bukan malah menjadikannya sebagai komoditas politik dalam ruang sempit.

Kalimat terakhir di atas penulis tekankan karena upaya menyederhanakan ketentuan PPN dalam bungkus omnibus law ini seolah dikirim tergesa-gesa ke Senayan.

Kalau kita lihat sebelumnya, omnibus law selalu muncul tiba-tiba, kurang transparan, dan pembahasannya kerap menyelak daftar antrean Program Legislasi Nasional (Prolegnas).

Jangan harap publik bebas mengakses rancangan omnibus law, jika tidak ada media massa yang membocorkan atau media sosial yang memviralkan. Klarifikasi dari otoritas dan juru bicara pemerintah seperti biasa baru muncul belakangan setelah isunya terlanjur liar.

Karenanya, wajar dan sangat pantas kalau ini mendapat sorotan publik yang tengah didera berbagai persoalan ekonomi dan sosial akibat pandemi.

Padahal, kalau saja pemerintah mau buka-bukaan sejak awal dan menjelaskan dengan bahasa paling sederhana, rakyat pasti bisa mengerti.

Ini terutama terkait maksud dan tujuan dicoretnya bahan kebutuhan pokok, serta jasa pendidikan dan kesehatan dari daftar barang dan jasa tidak kena PPN.

Maksud tersembunyi

Masalah muncul ketika rakyat—dengan akses dan pengetahuan terbatas—menganalisis sendiri butir-butir Pasal 4A UU PPN yang dihapus dalam draf RUU KUP.

Terutama terkait barang kebutuhan pokok, jasa pendidikan, dan jasa kesehatan yang dicoret dari daftar barang dan jasa tidak dikenakan PPN.

Siapa pun yang awam pajak sudah pasti akan menyimpulkan bahwa pemerintah akan memajaki barang dan jasa tersebut. Tidak ada yang salah dengan kesimpulan tersebut. Dan tampaknya memang benar rencananya akan seperti itu.

Meskipun tampak ada maksud lain yang tersembunyi—yang bisa jadi mulia—di balik usulan kebijakan tersebut, upaya reformasi perpajakan jilid sekian ini sepertinya ingin menyederhanakan ketentuan PPN. Yakni, memperjelas definisi Barang Kena Pajak (BKP) dan Jasa Kena Pajak (JKP) yang selama ini rancu dan multitafsir.

Dalam hal ini, barang dan jasa yang tidak dikenakan PPN kemungkinan akan dipersempit menjadi dua kelompok.

Pertama, barang dan jasa yang telah menjadi objek pajak daerah, seperti pajak hotel dan restoran, retribusi parkir, serta pajak hiburan. 

Kedua, barang dan jasa yang secara permanen tidak akan menjadi objek PPN, seperti uang, surat berharga, jasa pemerintahan, dan jasa keagamaan.

Terkait isu sensitif yang menjadi polemik, kalau analisis ini benar, pemerintah tidak akan sekejam itu memajaki barang dan jasa yang sangat dibutuhkan masyarakat, khususnya rakyat kecil.

Dalam beberapa kesempatan, Kementerian Keuangan juga sudah mengklarifikasi bahwa hanya bahan pokok, jasa pendidikan, dan jasa kesehatan dengan kategori premium yang akan dipajaki. Itu pun dengan mempertimbangkan lapisan tarif yang meringankan konsumen.

Walaupun, sampai sekarang tidak jelas juga definisi ”premium” itu apa. Janji tersebut baru sebatas ucapan otoritas yang belum tertulis jelas dalam RUU KUP.

Mungkin, dan sepertinya begitu, pemerintah akan mengakomodir janji tersebut dalam Pasal 16B UU PPN. Lagi-lagi, kalau dugaan ini benar, berarti bahan kebutuhan pokok, jasa pendidikan, dan jasa kesehatan akan dimasukkan dalam barang atau jasa tertentu yang bersifat strategis, yang dapat diberikan fasilitas PPN tidak dipungut.

Bila benar demikian, bahan kebutuhan pokok, jasa pendidikan, dan jasa kesehatan tetap dapat dikecualikan dari pengenaan PPN. Peluang tersebut kemungkinan akan diatur lebih lanjut melalui peraturan pemerintah (PP).

Konsep PPN tidak dipungut ini sebenarnya mirip dengan perlakuan perpajakan atas pemakaian listrik, yang masuk kategori barang kena PPN. Namun, selama ini listrik perumahan dengan daya di bawah 6.600 Watt diberikan fasilitas PPN dibebaskan.

Wacana ini sebenarnya tidak masalah karena regulasinya akan menjadi lebih sederhana, jika pendekatannya begitu.

Kementerian Keuangan juga menegaskan bahwa pemajakan atas bahan kebutuhan pokok, jasa pendidikan, dan jasa kesehatan ”premium” tidak berlaku dalam waktu dekat atau baru akan diterapkan setelah kondisi ekonomi dan sosial kondusif.

Tampaknya, dengan usulan baru ini, pemerintah tengah berupaya memperkuat basis pajak yang berpotensi dikenakan PPN di masa mendatang atau pascapandemi. Ini terutama berasal dari barang dan jasa yang dikeluarkan dari daftar barang dan jasa tidak kena PPN.

Pentingnya sosialisasi

Sayangnya, rencana ini tidak terkomunikasikan dengan baik ke masyarakat. Bukannya mendapat dukungan, alih-alih banyak kalangan terlanjur curiga dengan sikap pemerintah yang apa-apa serba rahasia.

Terlebih lagi, isu ini muncul di tengah kondisi masyarakat yang tengah terbebani masalah kesehatan, ekonomi, dan sosial akibat pandemi Covid-19.

Pemerintah harus menghargai para pembayar pajak dengan mendengarkan aspirasi semua pihak dalam pengambilan kebijakan. Karenanya, transparansi dan akuntabilitas harus dikedepankan, mulai dari tahapan perencanaan, pembahasan, eksekusi, hingga evaluasi kebijakan.

Kuncinya adalah komunikasi dan sosialisasi secara aktif ke semua lapisan masyarakat.

Meski terlambat, penulis mengapresiasi upaya pemerintah meluruskan isu yang terlanjut liar ini. Pemerintah sudah berjanji tidak akan serampangan memajaki bahan kebutuhan pokok, jasa pendidikan, dan layanan kesehatan.

Mari kita kawal dan pegang janji tersebut. Karena, kemungkinan sekecil apa pun bisa saja mengubah sikap pengambil kebijakan di kemudian hari.

https://money.kompas.com/read/2021/06/29/125706126/mari-mengawal-kebijakan-ppn-di-ruu-kup

Terkini Lainnya

Simak 8 Tips Menabung untuk Beli Rumah

Simak 8 Tips Menabung untuk Beli Rumah

Earn Smart
Melalui Transportasi Laut, Kemenhub Berupaya Wujudkan Konektivitas di Indonesia Timur

Melalui Transportasi Laut, Kemenhub Berupaya Wujudkan Konektivitas di Indonesia Timur

Whats New
Status 17 Bandara Internasional Dihapus, INACA Ungkap Sederet Manfaatnya untuk Penerbangan Nasional

Status 17 Bandara Internasional Dihapus, INACA Ungkap Sederet Manfaatnya untuk Penerbangan Nasional

Whats New
1 Lot Berapa Lembar Saham? Ini Perhitungan Mudahnya

1 Lot Berapa Lembar Saham? Ini Perhitungan Mudahnya

Spend Smart
Jumlah Bandara Internasional Dipangkas, InJourney Airports: Banyak yang Tidak Efisien

Jumlah Bandara Internasional Dipangkas, InJourney Airports: Banyak yang Tidak Efisien

Whats New
Usai Gempa Garut, Pertamina Pastikan SPBU hingga Pangkalan Elpiji di Jabar Aman

Usai Gempa Garut, Pertamina Pastikan SPBU hingga Pangkalan Elpiji di Jabar Aman

Whats New
Kemenkop-UKM Tegaskan Tidak Melarang Warung Madura Beroperasi 24 Jam

Kemenkop-UKM Tegaskan Tidak Melarang Warung Madura Beroperasi 24 Jam

Whats New
BTN Buka Lowongan Kerja untuk Lulusan D3 dan S1, Simak Kualifikasinya

BTN Buka Lowongan Kerja untuk Lulusan D3 dan S1, Simak Kualifikasinya

Work Smart
Ada Gempa Garut, Kereta Cepat Whoosh Tetap Beroperasi Normal

Ada Gempa Garut, Kereta Cepat Whoosh Tetap Beroperasi Normal

Whats New
Akhirnya, Bea Cukai Bebaskan Bea Masuk Alat Belajar SLB yang Tertahan Sejak 2022

Akhirnya, Bea Cukai Bebaskan Bea Masuk Alat Belajar SLB yang Tertahan Sejak 2022

Whats New
Sri Mulyani Minta Ditjen Bea Cukai Perbaiki Layanan Usai 3 Keluhan Terkait Pelayanan Viral di Medsos

Sri Mulyani Minta Ditjen Bea Cukai Perbaiki Layanan Usai 3 Keluhan Terkait Pelayanan Viral di Medsos

Whats New
Menuju Indonesia Emas 2045, Pelaku Usaha Butuh Solusi Manajemen SDM yang Terdigitalisasi

Menuju Indonesia Emas 2045, Pelaku Usaha Butuh Solusi Manajemen SDM yang Terdigitalisasi

Whats New
Jadi Sorotan, Ini 3 Keluhan Warganet soal Bea Cukai yang Viral Pekan Ini

Jadi Sorotan, Ini 3 Keluhan Warganet soal Bea Cukai yang Viral Pekan Ini

Whats New
Perhitungan Lengkap Versi Bea Cukai soal Tagihan Rp 31 Juta ke Pembeli Sepatu Seharga Rp 10 Juta

Perhitungan Lengkap Versi Bea Cukai soal Tagihan Rp 31 Juta ke Pembeli Sepatu Seharga Rp 10 Juta

Whats New
Berapa Gaji dan Tunjangan Pegawai Bea Cukai Kemenkeu?

Berapa Gaji dan Tunjangan Pegawai Bea Cukai Kemenkeu?

Work Smart
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke