Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Penangkapan Terukur, Ikhtiar KKP Merajut Ekonomi Biru

Ketika menjabat Menteri kelautan dan Perikanan, Trenggono memang berjanji akan membuat terobosan baru. Terobosan baru itu membangun sektor kelautan dan perikanan dengan program unggulan ekonomi biru.

Dengan prinsip tersebut, pihaknya menyusun sejumlah kebijakan yang di dalamnya terdapat konsep penangkapan ikan terukur. Aturan pendukung program yang rencananya akan diberlakukan pada tahun 2022 ini masih terus disusun agar implementasinya berjalan maksimal.

Selain penangkapan terukur, KKP turut menggaungkan pengelolaan perikanan budidaya yang terukur dengan peningkatan produksi perikanan budidaya untuk ekspor serta pengembangan kampung budidaya berbasis kearifan lokal.

"Jadi penangkapan terukur ini suatu model. Harus ada aturannya, ikan juga butuh istirahat, jangan ditangkapin terus," ungkapnya dalam acara Bincang Bahari secara virtual, seperti dikutip Kompas.com, Kamis (14/10/2021).

Ekonomi Kelautan yang Berkelanjutan

Sejatinya, prinsip ekonomi biru dalam sektor bahari sudah lama berdengung. CEO Indonesia Ocean Justice Initiative (IOJI) Mas Achmad Santosa mengatakan, terdapat kesesuaian antara kebijakan kelautan nasional dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2019-2014 dengan prinsip keberlanjutan atau sustainable ocean economy (SOE).

Pria yang akrab disapa Otta ini menjelaskan, SOE adalah peluang Indonesia mendorong ekonomi tripple win, yang terdiri dari penjagaan daya dukung ekosistem laut agar berkelanjutan (protect effectively), pemanfaatan ekonomi kelautan tanpa merusak ekonomi (produce sustainability), dan penyejahteraan atau pendistribusian manfaat bagi rakyat secara merata dan berkeadilan (prosper equitably).

Komite Nasional Pengkajian Sumber Daya Ikan (Komnas Kajiskan) menyarankan, pemerintah bisa mengacu pada 3 pilar utama untuk pengelolaan ikan yang berkelanjutan, yakni status stock, pengaturan perikanan yang efektif, dan bisnis proses yang berkelanjutan.

Ketua Komnas Kajiskan, Indra Jaya menuturkan, status stok ikan dapat ditentukan berdasarkan data Komnas Kajiskan. Sementara pengaturan perikanan yang efektif dapat diimplementasi dengan mengatur waktu penangkapan ikan, dan jenis ikan yang mana saja yang boleh ditangkap.

Hal ini bisa diakomodasi lewat penangkapan terukur yang diinisiasi oleh Menteri Trenggono. Kebijakan penangkapan ikan terukur meliputi, area penangkapan ikan, jumlah ikan yang boleh ditangkap, jenis alat tangkap, kapan waktunya atau musim penangkapan ikan, dan pelabuhan tempat pendaratan ikan.

Selain itu, syarat penggunaan Anak Buah Kapal (ABK) lokal, suplai pasar domestik dan ekspor ikan harus dari pelabuhan di WPP daerah penangkapan ikan yang ditetapkan, serta jumlah pelaku usaha bersistem kontak.

Juru Bicara KKP, Wahyu Muryadi menjabarkan, Menteri Trenggono menyiapkan penangkapan ikan terukur untuk menata tata laksana penangkapan ikan agar tidak ada lagi penangkapan ikan secara ilegal, tak dilaporkan, dan tak teregulasi (Illegal, Unreported, Unregulated Fishing/IUUF).

Aspek ekologi kata Wahyu, juga diutamakan untuk membangun ekonomi di sektor kelautan dan perikanan. Semuanya menuju tatanan ideal pengelolaan perikanan yang legal, terlapor, dan teregulasi.

"Nantinya setiap kapal ikan hanya boleh mendaratkan ikannya di wilayah tempat mereka cari ikan. Jadi, distribusi pendapatan daerah akan menaikkan Pendapatan Asli Daerah (PAD) dan ekonomi tidak cuma menggeliat di Jawa," beber Wahyu.

Skema penangkapan ikan terukur

Direktur Jenderal Perikanan Tangkap KKP, Muhammad Zaini menuturkan, penangkapan terukur akan mengacu pada hitung-hitungan Komnas Kajiskan yang dilakukan secara berkala per dua tahun.

Menurut Komnas Kajiskan, total jumlah tangkapan yang diperbolehkan (JTB) adalah 9,45 juta ton per tahun dengan nilai produksi mencapai Rp 229,3 triliun.

"Kebijakan penangkapan terukur ini dilakukan untuk memastikan keseimbangan antara ekologi, ekonomi, dan keberlanjutan sumber daya perikanan. Lewat penangkapan terukur, sumber daya perikanan tak serta-merta bisa dieksploitasi tanpa memerhatikan siklus hidup perikanan dan keberlangsungannya," ungkap Zaini.

Zaini menjelaskan, area penangkapan ikan di Wilayah Pengelolaan Perikanan (WPP) Negara Republik Indonesia (NRI) dibagi menjadi tiga zona, yakni zona fishing industri, zona nelayan lokal, dan zona spawning & nursery ground (zona pemijahan dan perkembangbiakan ikan).

Nantinya, zona industri akan berada pada 6 Wilayah Pengelolaan Perikanan (WPP), yakni WPP 572 perairan Samudera Hindia sebelah barat Sumatera, WPP 573 perairan Samudera Hindia sebelah selatan Jawa, WPP 711 Laut Natuna, WPP 716 Laut Sulawesi, WPP 717 Teluk Cendrawasih dan Samudera Pasifik, serta WPP 718 Laut Aru dan Laut Arafuru.

Sedangkan zona nelayan lokal berada di WPP 571 Selat Malaka dan Laut Andaman, WPP 712 Laut Jawa, WPP 713 Selat Makassar, serta WPP 715 Laut Maluku, Laut Halmahera, Laut Seram, dan Teluk Berau.

Adapun zona spawning and nursery ground berada di WPP 714 Teluk Tolo dan Laut Banda. Zaini bilang, WPP 714 adalah tempat berpijah dan bertelurnya beberapa jenis tuna dan ikan pelagis.

"Sehingga itu kita batasi, sehingga yang boleh menangkap di situ nantinya hanya nelayan lokal/kecil, (dengan ukuran kapal) hanya sampai 10 GT. Di atas itu enggak boleh. Jadi kosong dan benar-benar harus steril dari penangkapan yang berlebih," beber Zaini.

Kuota penangkapan ikan

KKP bakal menetapkan kuota penangkapan dari zona-zona tersebut. Pengamat Ekonomi Kelautan dan Perikanan, Suhana mengingatkan, sebaiknya sebelum membagi kuota sumberdaya ikan, KKP perlu mendorong komunitas pesisir dan nelayan untuk membentuk organisasi, supaya pengelolaan perikanan skala kecil dilakukan secara community-based co-management.

Artinya, hak kelola ada pada komunitas pesisir dan komunitas nelayan. Dengan konsep seperti ini, dia berharap asosiasi nelayan/komunitas pesisir, dimana KUB menjadi bagian di dalamnya menjadi partner pengelolaan.

Sedangkan nelayan-nelayan besar (Industri) dan asing baiknya didorong untuk di perairan laut lepas. Sebab nelayan dan badan usaha perikanan nasional sangat mampu mengelola sumberdaya ikan yang ada di WPPNRI.

"Sudah saatnya sumberdaya ikan di WPPNRI menjadi sumber ekonomi bagi para pelaku perikanan tangkap nasional, khususnya nelayan kecil," ucap Suhana.

Adapun kata Zaini, kuota penangkapan akan terdiri dari kuota industri, kuota nelayan lokal, dan kuota untuk rekreasi maupun hobi.

"Nanti dibagi siapa yang nangkap, ada berapa perusahaan. Kalau si A dapat izin menangkap 100.000 ton setahun, kalau sudah 100.000 ton setahun, dia tidak boleh lagi. Jadi sehingga betul-betul tidak terlampaui, jadi potensi ikannya tidak rusak," ungkap Zaini.

Agar mudah diawasi, kapal-kapal yang membawa hasil ikan tangkap untuk suplai pasar domestik dan ekspor harus membongkar muatannya di pelabuhan di WPP tempatnya menangkap.

Jalur penangkapan ikan

Zaini mengungkapkan, kebijakan penangkapan terukur ini menyempurnakan kebijakan yang telah diimplementasi lebih dulu, salah satunya terkait jalur penangkapan ikan.

KKP belum lama ini memang membagi jalur penangkapan ikan menjadi 3, yakni jalur I untuk 0-4 mil garis pantai, jalur II 4-12 mil dari garis pantai, dan jalur III di atas 12 mil sampai Zona Ekonomi Eksklusif.

Hal ini diatur dalam Peraturan Menteri KP Nomor 18 Tahun 2021 tentang Penempatan Alat Penangkapan Ikan dan Alat Bantu Penangkapan Ikan di WPP-NRI dan Laut Lepas serta Penataan Andon Penangkapan Ikan.

Jalur I hanya diperuntukkan bagi nelayan kecil dengan ukuran kapal hingga 5 GT, sementara jalur II untuk ukuran kapal 5-30 GT. Jalur III untuk kapal-kapal besar di atas 30 GT.

Pengaturan ini dibuat untuk melindungi nelayan kecil dan sumber daya ikan di Wilayah Pengelolaan Perikanan (WPP) RI.

Meski demikian, kapal-kapal kecil tersebut boleh beroperasi ke jalur II dan jalur III jika memenuhi syarat tertentu, seperti syarat keselamatan dan syarat lain yang ditentukan kementerian. Aturan serupa juga berlaku untuk kapal berukuran 5-30 GT yang beroperasi di jalur II.

Selektifitas alat tangkap

Penangkapan ikan terukur juga mengatur soal alat tangkap ikan yang diperbolehkan dan tidak merusak lingkungan. Di beleid yang sama, KKP mengatur 10 kelompok alat tangkap yang diizinkan.

Kesepuluh alat tangkap tersebut terdiri dari kelompok jaring lingkar, kelompok jaring tarik, kelompok jaring hela, penggaruk, jaring angkat, alat tangkap yang dijatuhkan atau ditebar, jaring insang, kelompok perangkap, kelompok alat pancing, dan alat tangkap lainnya.

Alat tangkap ditimbang berdasarkan dua hal, yakni selektifitas dan kapasitasnya. Selektifitas dilihat berdasarkan ukuran mata jaring, bentuk mata jaring, nomor mata pancing, alat mitigasi tangkapan sampingan.

Sementara kapasitas diatur berdasarkan panjang tali ris atas, bukaan mulut, panjang penaju, jumlah unit API, jumlah mata pancing, dan panjang tali selambar.

Kendati diizinkan, alat tangkap itu tetap perlu mengikuti aturan dan mempertimbangkan alokasi sumber daya ikan. Jika sumber daya di suatu wilayah pengelolaan perikanan (WPP) sudah over-exploited, maka penggunaan alat tangkap bisa saja dilarang.

Ketua Harian DPP Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia, Dani Setiawan menilai, aturan mengenai zona, kuota, hingga alat tangkap ikan yang masuk dalam program penangkapan terukur menjadi bagian dari agenda positif.

Dia berharap, penangkapan ikan secara terukur ini bisa dimaksimalkan agar sumber daya ikan tumbuh berkelanjutan. Dalam aturan alat tangkap misalnya, penggantian alat tangkap yang lebih ramah lingkungan menjadi satu langkah baik untuk didukung.

https://money.kompas.com/read/2021/10/14/085800526/penangkapan-terukur-ikhtiar-kkp-merajut-ekonomi-biru

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke