Indonesia sudah jauh-jauh hari membuat cetak biru bauran energi yang dikenal sebagai Rencana Umum Energi Nasional (RUEN).
Dalam RUEN, disebutkan target energi primer EBT pada 2025 paling sedikit mencapai 23 persen dan meningkat menjadi 31 persen pada 2050.
Dengan patokan tersebut, maka kapasitas penyediaan pembangkit listrik EBT pada 2025 harus mencapai sekitar 42,5 gigawatt dan menjadi 167,7 GW pada 2050.
Namun menurut catatan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM),
realisasi bauran EBT pada 2021 naik tipis, sebesar 0,3 persen, dibandingan realisasi 2020.
Capaian angka EBT pada tahun lalu tersebut disebut ESDM setara dengan 151,6 juta barel equivalent.
Meski demikian, angka tersebut baru mencapai 11,5 persen bauran nasional, masih jauh dari target EBT sebesar 23 persen yang ditetapkan pemerintah, yang notabene hanya tinggal tiga tahun lagi.
Harus diakui pengembangan EBT membutuhkan dana yang tidak sedikit. Meski demikian, bukan berarti pengembangan energi tersebut sepi peminat.
Pembangkit Listrik Negara Air (PLTA), misalnya, ternyata berhasil menyedot minat investor.
Perusahaan mantan Wakil Presiden RI Juduf Kalla, misalnya, melalui skema independent power producer (IPP) menggelontorkan dana sebesar Rp 17,1 triliun untuk membangun dua PLTA di Sulawesi, yaitu Poso berkapasitas 515 MW dan PLTA Malea berkapasitas 90 MW.
Meskipun skema yang digunakan adalah listrik swasta, tetapi nyatanya mereka menemui kesulitan dalam bernegosiasi dengan PT PLN.
Menurut Jusuf Kalla, birokrasi di PLN sangat rumit sehinga negosiasi yang dibutuhkan untuk kedua proyek tersebut mencapai lima tahun.
Alhasil total waktu hingga dapat mengoperasikan PLTA tersebut adalah 12 tahun.
Hal sama juga dikeluhkan investor lain yang mengatakan lambatnya proses negosiasi tersebut terkait dengan harga listrik EBT.
Ketidakpastian aturan mengenai harga listrik EBT memang menjadi kendala bagi investor.
Pemerintah tengah mempersiapkan Perpres pembelian tenaga listrik berbasis energi terbarukan oleh PT PLN (Persero).
Salah satu poin dalam draft yang sempat beredar adalah adanya kewajiban PT PLN (Persero) untuk membeli listrik dari pembangkit energi terbarukan.
Jika memang draft tersebut menjadi kenyataan, maka rasanya hal itu sangat wajar.
PLN, sebagai BUMN ketenagalistrikan sudah selayaknya berada di garda depan dalam pengembangan EBT, termasuk memberikan iklim investasi yang kondusif bagi investor dengan sepenuh hati, bukan setengah hati seperti kesan yang muncul selama ini.
Tanpa investor, sudah pasti pengembangan EBT di Tanah Air dapat tersendat-sendat hingga tidak mencapai target sebagaimana yang telah ditetapkan pemerintah.
Dan jika hal tersebut terjadi, target EBT tidak tercapai dan impor minyak akan semakin melambung yang berimbas pada kembang kempisnya APBN kita.
https://money.kompas.com/read/2022/03/01/090620826/birokrasi-harga-dan-pengembangan-plta-di-indonesia